RSS

Arsip Bulanan: Maret 2021

PPN ATAS PENYERAHAN TANAH (Part 1)

A. Ketentuan Umum

1. Penyerahan tanah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 16D Undang-Undang PPN beserta penjelasannya, termasuk penyerahan tanah oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada Instansi Pemerintah dalam rangka pengadaan tanah, terutang PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon. Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

2. Pajak Masukan atas perolehan tanah dapat dikreditkan dalam hal tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang PPN beserta penjelasannya.

B. Kriteria PPN atas Penyerahan Tanah Sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN

1. Tanah merupakan Barang Kena Pajak (BKP).

2. Penyerahan tanah dikenai PPN sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN, dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) penyerahan dilakukan oleh Pengusaha;
Pengusaha meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan.
Pengusaha adalah yang kegiatan usaha atau pekerjaannya tersebut dapat diketahui dan adanya kegiatan yang menunjukkan aktivitas usaha, antara lain memiliki persediaan berupa tanah dan/atau bangunan untuk dijual.

b) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A Undang-Undang PPN;

c) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

d) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan Pengusaha.

Contoh:

• PT Bangun Baru bergerak di bidang real estate dengan kegiatan utama penjualan tanah dan bangunan dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Atas transaksi penjualan tanah dan bangunan oleh PT Bangun Baru dikenai PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN.

• Jika PT Bangun Baru sebagaimana pada contoh di atas melakukan pemberian secara cuma-cuma atas tanah dan bangunan yang sebelumnya dicatat sebagai persediaan untuk disumbangkan, maka atas pemberian cuma-cuma tersebut dikenai PPN.

• Tuan Adi, seorang karyawan, memiliki banyak tanah di berbagai tempat. Tuan Adi secara rutin melakukan pembelian tanah untuk kemudian memperjualbelikan tanah tersebut. Pada tahun 2012, Tuan Adi melakukan beberapa kali penjualan tanah, hingga pada suatu bulan nilai penjualan (peredaran bruto) Tuan Adi telah melebihi batasan pengusaha kecil. Tuan Adi wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir bulan berikutnya setelah peredaran brutonya melebihi batasan pengusaha kecil. Atas penyerahan tanah oleh Tuan Adi setelah dikukuhkan menjadi PKP, dikenai PPN berdasarkan aturan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN.

• Apabila Tuan Adi sebagaimana pada contoh di atas melakukan penjualan tanah tidak melebihi batasan pengusaha kecil, Tuan Adi tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Atas penyerahan tanah oleh Tuan Adi tidak dikenai PPN.

• Tuan Budi, seorang karyawan, memiliki aset berupa tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan tersebut dijual dengan nilai pengalihan Rp5.000.000.000,00. Karena penyerahan tanah dan bangunan tidak dilakukan dalam lingkup kegiatan usaha Tuan Budi, maka atas penyerahan tanah dan bangunan tersebut tidak dikenai PPN sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN dan Tuan Budi tidak wajib dikukuhkan menjadi PKP.

C. Kriteria PPN Pasal 16D atas Penyerahan Tanah

1. Tanah merupakan Barang Kena Pajak (BKP).

2. Penyerahan tanah dikenai PPN sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-Undang PPN dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) penyerahan dilakukan oleh PKP;
b) tanah yang diserahkan menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan kecuali Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; dan
c) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A Undang-Undang PPN.

3. Pengalihan BKP berupa tanah yang merupakan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal sebagai pengganti saham, dikenai PPN dalam hal pihak yang menerima pengalihan merupakan Pengusaha yang belum/tidak dikukuhkan sebagai PKP. Dalam hal tanah dialihkan kepada Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, pengalihan tersebut bukan merupakan penyerahan BKP sesuai ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang PPN, sehingga atas pengalihan tanah tersebut tidak dikenai PPN. Dasar Pengenaan Pajak sehubungan dengan penyerahan BKP berupa tanah yaitu harga jual tanah.

4. Dalam hal BKP yang dialihkan merupakan tanah dan bangunan, maka PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa tanah dan bangunan tersebut. Dasar Pengenaan Pajak sehubungan dengan penyerahan BKP berupa tanah dan bangunan yaitu harga jual tanah dan bangunan.

Contoh:

• PT Untung Makmur bergerak di bidang perdagangan dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Pada tahun 2005 PT Untung Makmur membeli tanah dari Nyonya Tika yang tidak dikukuhkan sebagai PKP sehingga tidak ada PPN yang dibayar oleh PT Untung Makmur pada saat perolehan tanah. Tanah tersebut oleh PT Untung Makmur digunakan sebagai perluasan area parkir kendaraan pengiriman barang PT Untung Makmur. Karena kesulitan keuangan, PT Untung Makmur menjual tanah ini pada tahun 2015. Atas penjualan tanah tersebut dikenai PPN berdasarkan Pasal 16D Undang-Undang PPN.

• PT Simpan Tunai bergerak di bidang jasa keuangan bank dan asuransi dan telah dikukuhkan sebagai PKP karena melakukan penyerahan berupa persewaan ruangan kantor dan ruangan ATM. PT Simpan Tunai memiliki sebidang tanah dan bangunan yang digunakan sebagai kantor cabang. PT Simpan Tunai menjual tanah dan bangunan tersebut karena pindah lokasi kantor cabang di tempat lain. Atas transaksi penjualan tanah dan bangunan tersebut dikenai PPN sesuai dengan Pasal 16D Undang-Undang PPN.

• Nyonya Larastika memiliki usaha jasa persewaan tanah dan/atau bangunan dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Nyonya Larastika berniat menjual sebuah gedung pertokoan miliknya yang semula disewakan. Karena gedung pertokoan tersebut termasuk dalam aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka atas penjualan gedung pertokoan dimaksud dikenai PPN sesuai dengan Pasal 16D Undang-Undang PPN.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Maret 2021 inci Pasal 16D, PPN, Terutang PPN

 

Tag:

PPN ATAS PENYERAHAN TANAH (Part 2)

D. Tempat Terutang

Tempat terutang PPN atas penyerahan tanah dan tempat KPP yang mengadministrasikan pembayaran PPN adalah sebagai berikut:

1. Penyerahan tanah dan/atau bangunan oleh PKP yang memiliki kegiatan usaha di bidang pengalihan tanah dan/atau bangunan dan terdaftar pada wilayah administrasi KPP di lingkungan Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar, lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya (KPP BKM), berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. terutang PPN di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha, dan diadministrasikan di KPP BKM, dalam hal lokasi tanah dan/atau bangunan yang dialihkan berada pada tempat kegiatan usaha dalam wilayah administrasi KPP BKM; atau
b. terutang PPN di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha, dan diadministrasikan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha berada, dalam hal lokasi tanah dan/atau bangunan yang dialihkan berada pada tempat kegiatan usaha di luar wilayah KPP BKM.

2. Penyerahan tanah dan/atau bangunan oleh PKP yang memiliki kegiatan usaha di bidang pengalihan tanah dan/atau bangunan dan tidak terdaftar pada KPP BKM, terutang PPN di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha, dan diadministrasikan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha di mana lokasi tanah dialihkan.

Contoh:

• PT Citra Amalia merupakan developer perumahan mewah dengan lokasi perumahan di Kabupaten Bekasi. PT Citra Amalia terdaftar di KPP Madya Bekasi dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Atas penyerahan properti oleh PT Citra Amalia terutang PPN di Kabupaten Bekasi dan diadministrasikan di KPP Madya Bekasi.

• Apabila PT Citra Amalia sebagaimana contoh di atas merupakan PKP yang terdaftar di KPP Madya Jakarta Pusat, maka atas penyerahan properti oleh PT Citra Amalia terutang PPN di Kabupaten Bekasi dan diadministrasikan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi lokasi properti tersebut berada.

• PT Karya Bangsa merupakan developer perumahan mewah yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Candisari dan telah dikukuhkan sebagai PKP. PT Karya Bangsa memiliki proyek pembangunan perumahan di kota Purwokerto. Atas penyerahan properti di kota Purwokerto oleh PT Karya Bangsa terutang PPN di kota Purwokerto dan diadministrasikan di KPP Pratama Purwokerto.

E. Pengenaan PPN atas Pengadaan Tanah

Penyerahan tanah oleh PKP kepada Instansi Pemerintah dalam rangka pengadaan tanah, dikenai PPN. PPN yang terutang atas penyerahan tanah dalam rangka pengadaan tanah, dipungut oleh PKP yang menyerahkan tanah kepada Instansi Pemerintah, dan tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah. PKP yang menerima pembayaran atas pengadaan tanah kepada Instansi Pemerintah wajib memungut PPN dengan membuat Faktur Pajak dengan kode transaksi 01, menyetor PPN, dan melaporkan PPN terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Misal:

• PT Atletik Juara adalah perusahaan pabrik sepatu dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Pada tahun 2015, pemerintah daerah Bogor melakukan pengadaan tanah untuk pembangunan gedung kantor. Salah satu tanah yang menjadi objek pengadaan adalah tanah milik PT Atletik Juara. Atas penyerahan tanah oleh PT Atletik Juara kepada pemerintah daerah Bogor dikenai PPN sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-Undang PPN. PT Atletik Juara sebagai pihak yang menerima pembayaran wajib membuat Faktur Pajak dengan kode transaksi 01, memungut PPN, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN.

• Tuan Wijaya, seorang karyawan dan tidak dikukuhkan PKP. Pada tahun 2015, Dinas Pendidikan Kota Magelang melakukan pengadaan tanah untuk pembangunan gedung sekolah. Salah satu tanah yang menjadi objek pengadaan adalah tanah milik Tuan Wijaya. Atas pengadaan tanah ini tidak dikenakan PPN karena Tuan Wijaya bukan Pengusaha Kena Pajak.

F. Pengkreditan Pajak Masukan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

1. Bagi PKP yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang PPN, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dan 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut. Tanah yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan merupakan BKP yang termasuk dalam pengertian barang modal, sehingga Pajak Masukan atas perolehan tanah dapat dikreditkan dalam hal tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN. Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan tanah sebagai barang modal tetap berlaku meskipun barang modal berupa tanah tidak dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.

2. Pajak Masukan atas perolehan tanah yang tidak berkaitan dengan penyerahan yang terutang PPN, tidak dapat dikreditkan oleh PKP, baik PKP yang telah berproduksi maupun belum berproduksi.

Contoh:

• PT Sumber Terang adalah PKP baru dan belum berproduksi, yang bergerak di bidang industri elektronik. PT Sumber Terang membeli sebidang tanah dari PKP di daerah Kabupaten Tangerang untuk kemudian dibangun menjadi pabrik. Tanah tersebut akan digunakan sebagai tempat kegiatan usaha dan tidak ditujukan untuk diperjualbelikan sehingga dapat dikategorikan sebagai barang modal. Oleh karena itu, Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut dapat dikreditkan oleh PT Sumber Terang.

• PT Denanta Property adalah PKP yang bergerak di bidang real estate yaitu jual beli tanah dan bangunan. PT Denanta Property membeli sebidang tanah di daerah Bogor untuk dibangun perumahan dan kemudian akan dijual kembali. PT Denanta Property belum berproduksi sehingga Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut tidak dapat dikreditkan.

• Apabila PT Denanta Property pada contoh di atas telah berproduksi yaitu telah melakukan penyerahan yang terutang Pajak, maka Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut dapat dikreditkan.

• Apabila PT Denanta Property pada contoh di atas membeli tanah di daerah Bogor untuk keperluan perumahan karyawan atau tempat peristirahatan, maka Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut tidak dapat dikreditkan karena tidak berkaitan dengan kegiatan usaha PKP.

• PT Pramesta Propertindo adalah PKP baru dan belum berproduksi yang bergerak di bidang real estate berupa persewaan bangunan. PT Pramesta Propertindo membeli sebidang tanah di wilayah SCBD untuk kemudian dibangun gedung perkantoran. Tanah tersebut digunakan sebagai tempat usaha dan tidak bertujuan untuk diperjualbelikan sehingga dapat dikategorikan sebagai barang modal. Oleh karena itu, Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut dapat dikreditkan.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan tanah bagi PKP yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bahwa terhadap PKP yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP sampai dengan jangka waktu tertentu, PKP dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan tanah baik sebagai barang modal maupun bukan barang modal, baik PKP tersebut telah atau belum melakukan penyerahan, sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Contoh:

• PT Pesona Asri adalah PKP baru yang bergerak di bidang real estate. PT Pesona Asri membeli sebidang tanah dari PKP di Kota Bekasi yang akan dibangun perumahan untuk dijual dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut dapat dikreditkan.

• PT Luxury adalah PKP yang bergerak di bidang perhotelan dan persewaan bangunan perkantoran. PT Luxury membeli sebidang tanah di wilayah Puncak Bogor untuk dibangun hotel. Tanah tersebut digunakan untuk kegiatan usaha dan tidak diperjualbelikan sehingga dapat dikategorikan sebagai barang modal. Karena PT Luxury melakukan penyerahan jasa yang tidak termasuk JKP, maka Pajak Masukan sehubungan dengan penyerahan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu, Pajak Masukan atas perolehan tanah tersebut tidak dapat dikreditkan.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 20 Maret 2021 inci Pasal 16D, PPN, Terutang PPN

 

Frenchise (Waralaba)

1. Definisi

Waralaba menurut PP Nomor 42 Tahun 2007 adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki ciri khas usaha;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan;
c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

2. Perjanjian Waralaba

Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.

Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit :
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f. wilayah usaha;
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

3. Kewajiban Pemberi Waralaba

Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran. Prospektus penawaran Waralaba memuat paling sedikit mengenai :
a. data identitas Pemberi Waralaba;
b. legalitas usaha Pemberi Waralaba;
c. sejarah kegiatan usahanya;
d. struktur organisasi Pemberi Waralaba;
e. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;
f. jumlah tempat usaha;
g. daftar Penerima Waralaba; dan
h. hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan.

4. Kewajiban Penerima Waralaba

Kewajiban penerima waralaba:
a. Melaksanakan seluruh instruksi Pemberi Waralaba;
b. Melakukan pendaftaran waralaba;
c. Tidak melakukan kegiatan usaha yang bermaksud untuk menyaingi yang diwaralabakan;
d. Memberikan royalty kepada Pemberi Waralaba.

5. Pandangan Syariat Islam tentang Waralaba

Perjanjian waralaba mempunyai persamaan dengan sistem ijarah (sewa menyewa). Salah satu isi substansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian izin oleh Franchisor kepada Franchisee untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan imbalan sejumlah royalty yang harus dibayar Franchisee dalam batas waktu tertentu. Substansi kontrak bisnis waralaba tidak jauh berbeda dengan substansi akad ijarah dalam Hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam Batasan waktu tertentu. Oleh karena itu, konsep waralabaa setara dengan konsep akad ijarah. Ulama Mahzab Syafii menjelaskan bahwa ijarah adalah akad atas suatu manfaat tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan kompensasi atau imbalan tertentu.

Fikih Islam memberi penilaian terhadap konsep Waralaba berdasarkan hukum Islam yang setara dengan konsep syirkah. Syirkah termasuk salah satu bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang. Syirkah atau musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Akad syirkah diperbolehkan berdasarkan firman Allh dalam QS Shad: 24.

Menurut Hukum Islam bahwa perjanjian Franchise tidak bertentangan dengan Syariah Islam dengan catatan bahwa objek perjanjian franchise tersebut tidak merupakan hal yang dilarang dalam Syariah Islam.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 7 Maret 2021 inci Buku III

 

SISTEM PERADILAN INDONESIA

A. Mahkamah Agung vs Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang setara.

1. Mahkamah Agung

Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim (UU No 48/2009), Mahkamah Agung berwenang:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang
Contoh kewenangan lain yang diberikan undang-undang adalah memproses peninjauan kembali.

2. Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU No 48/2009, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Selain kewenangan di atas, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

B. Lingkungan Peradilan di Indonesia

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung adalah:

1. Lingkungan Peradilan Umum

Kedudukan Peradilan

Berdasarkan Pasal 3 dan 4 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 49 Tahun 2009, selanjutnya disebut UU Peradilan Umum, Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Negeri, berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten.
b. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibu kota Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Kekuasaan Pengadilan

Berdasarkan Pasal 50 dan 51 UU Peradilan Umum, kekuasaan pengadilan adalah sebagai berikut:
a. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
b. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang:
1) mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
2) mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Pengadilan Khusus di Lingkungan Peradilan Umum

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU Peradilan Umum, Di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.

a. Pengadilan Niaga

hingga saat ini Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara sebagai berikut:

1) Kepailitan dan PKPU, serta hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah pembuktiannya sederhana atau tidak (lihat UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang);

2) Hak kekayaan intelektual:
– Desain Industri (lihat UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri);
– Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (lihat UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu);
– Paten (lihat UU No. 14 Tahun 2001tentang Paten);
– Merek (lihat UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek)
– Hak Cipta (lihat UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta).

3) Lembaga Penjamin Simpanan (lihat UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan):
– Sengketa dalam proses likuidasi:
– Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.

b. Pengadilan Anak

Diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

c. Pengadilan HAM

Diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

d. Pengadilan Khusus Tipikor

Diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
1) tindak pidana korupsi;
2) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
3) tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

e. Peradilan Hub Industrial

Diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
“Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.”

f. Pengadilan Perikanan

Diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
“Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.”

2. Lingkungan Peradilan Agama

Berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama s.t.d.t.d. UU Nomor 50 Tahun 2009
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari’ah.”

3. Lingkungan Peradilan TUN

Berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara s.t.d.t.d. UU Nomor UU Nomor 51 Tahun 2009
“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”

Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan TUN adalah Pengadilan Pajak (UU No 14/2002). Terkait dengan pengadilan pajak, dalam ketentuan Pasal 27 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

4. Lingkungan Peradilan Militer

Diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

C. Komponen Sistem Peradilan Indonesia

Komponen sistem peradilan Indonesia adalah:

  1. Kepolisian (UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)
  2. Kejaksaan (UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia)
  3. Hakim
  4. Advokat (UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat)

D. Sistem Hukum Indonesia

Indonesia menganut sistem hukum eropa continental (civil law system) berbeda dengan sistem hukum anglo saxon (common law system)

Ciri atau karakteristik dari sistem Civil Law adalah:

  1. Adanya sistem kodifikasi
  2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang utama
  3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial

Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:

  1. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
  2. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden
  3. Adversary System dalam proses peradilan
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 6 Maret 2021 inci Hukum

 

BUMN dan Perusahaan Tertentu Sebagai Pemungut PPN

1. Penunjukkan BUMN dan Perusahaan Tertentu

Pemungut PPN meliputi:

a. BUMN;

b. BUMN yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah tanggal 1 April 2015, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya; dan

c. perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.
Perusahaan tertentu merupakan perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham di atas 25% (dua puluh lima persen) dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Daftar Perusahaan tertentu dapat dilihat di sini

2. Pengecualian Pemungutan PPN

PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh pemungut PPN dalam hal:

a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

b. pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan peraturanperundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN;

c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);

d. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;

e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau

f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.

PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

3. Penerbitan Faktur Pajak oleh Rekanan

Rekanan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN pada saat:

a. penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP; atau
c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

4. Tata Cara Pemungutan dan Pelaporan

Pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan pada saat:
a. penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP; atau
c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.


Pemungut PPN wajib menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dibuat oleh pemungut PPN atas nama rekanan dengan mencantumkan:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak, nama, dan alamat rekanan pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak, kolom nama, dan kolom alamat; dan
b. kode dan nomor seri Faktur Pajak pada kolom uraian.

Pemungut PPN harus menyampaikan cetakan, salinan, atau fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada rekanan.

Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dan disetor dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN, paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN wajib dilampiri dengan daftar nominatif Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Maret 2021 inci Pemungut PPN

 

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

A. Fasilitas dan Perlakuan Perpajakan

Fasilitas dan perlakuan perpajakan terkait pengusaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) adalah:

1.Pengusaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. Contoh KPBPB adalah Kawasan Batam, Bintan, Dan Karimun

2. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN.

3. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam KPBPB, dibebaskan dari pengenaan PPN.

4.Pemasukan Barang Kena Pajak dan/atau barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN dan/atau tidak dipungut PPh Pasal 22.

5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam KPBPB, dibebaskan dari pengenaan PPN.

6. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pengusaha di KPBPB kepada pengusaha di KPBPB lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN.

7. Penyerahan Barang Kena Pajak ke KPBPB oleh pengusaha Tempat Penimbunan Berikat atau Pelaku Usaha di KEK kepada pengusaha di KPBPB tidak dipungut PPN.

Fasilitas tidak dipungut sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. pemasukan Barang Kena Pajak ke KPBPB dilakukan di Pelabuhan yang ditunjuk; dan
b. Barang Kena Pajak berwujud tersebut benar-benar telah masuk ke dalam KPBPB yang dibuktikan dengan dokumen yang telah diberikan Endorsement sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

8. Penyerahan Barang Kena Pajak ke KPBPB oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean kepada pengusaha di KPBPB tidak dipungut PPN.

9. Penyerahan Barang Kena Pajak dari KPBPB ke Tempat Penimbunan Berikat oleh pengusaha di KPBPB tidak dipungut PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Tempat Penimbunan Berikat.

10. Penyerahan Barang Kena Pajak dari KPBPB ke KEK oleh pengusaha di KPBPB tidak dipungut PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai KEK.

11. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pengusaha di KPBPB kepada pembeli di tempat lain dalam Daerah Pabean dipungut PPN.

Tidak termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dipungut PPN, yaitu transaksi tertentu berupa:
a. pengeluaran Barang Kena Pajak yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke KPBPB atau pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari KPBPB oleh pengusaha yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean berupa mesin dan peralatan untuk: kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur; keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau keperluan peragaan atau demonstrasi.
b. pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya PPN yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan PPN, atau PPN ditanggung pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai PPN ditanggung pemerintah, dan sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
c. penyerahan Barang Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
d. penyerahan Barang Kena Pajak yang telah dilunasi PPN-nya dengan menggunakan stiker lunas PPN;
e. pengeluaran Barang Kena Pajak sebagai pengemas yang dipakai berulang-ulang; atau
f. pengeluaran Barang Kena Pajak kepada pemilik barang yang dihasilkan dari kegiatan jasa oleh pengusaha di KPBPB, antara lain barang hasil maklon, barang hasil perbaikan dan perawatan, dan barang yang ditimbun oleh pengusaha logistik di KPBPB.

12. Atas pengeluaran Barang Kena Pajak asal luar Daerah Pabean dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha di KPBPB yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak wajib dilunasi PPN atas perolehan Barang Kena Pajak yang pada saat impornya tidak dipungut.

13. Atas penyerahan barang asal luar Daerah Pabean dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha di KPBPB wajib dilunasi PPh Pasal 22.

14. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di KPBPB oleh pengusaha di KPBPB untuk dimanfaatkan di tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN, kecuali untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN.

15. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di KPBPB, tidak dipungut PPN.

16. Penyerahan Jasa Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di KPBPB, dipungut PPN, kecuali atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu di tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di KPBPB, tidak dipungut PPN. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN.

Jasa Kena Pajak tertentu merupakan Jasa Kena Pajak yang jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenakan PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

17. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu di Tempat Penimbunan Berikat atau KEK, oleh pengusaha di Tempat Penimbunan Berikat atau pelaku usaha di KEK untuk dimanfaatkan di KPBPB, tidak dipungut PPN.

Jasa Kena Pajak tertentu merupakan Jasa Kena Pajak yang jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenakan PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

18. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di KPBPB oleh pengusaha di KPBPB untuk dimanfaatkan di Tempat Penimbunan Berikat, dipungut PPN.

19. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu di KPBPB oleh pengusaha di KPBPB untuk dimanfaatkan di KEK, tidak dipungut PPN.

Jasa Kena Pajak tertentu merupakan Jasa Kena Pajak yang jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenakan PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

20.Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN.

21. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke KPBPB dikenai PPN.

22. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean dikenai PPN.

23. Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN.

24. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat ke KPBPB dikenai PPN, kecuali penyerahan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan berkabel di KPBPB.

25. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat dikenai PPN.

B. Kewajiban Pengusaha di KPBPB

Kewajiban pengusaha di KPBPB untuk memperoleh fasilitas perpajakan adalah:

1. Pengusaha di KPBPB sebagai pihak yang memperoleh Barang Kena Pajak harus menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana perolehan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, atau KEK ke KPBPB, kepada kantor pelayanan pajak sebelum kedatangan Barang Kena Pajak. Dalam hal pengusaha di KPBPB tidak mengajukan pemberitahuan mengenai rencana perolehan Barang Kena Pajak ke KPBPB, Pengusaha Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean wajib memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak disertai rencana pemasukan barang ke KPBPB. Rencana perolehan Barang Kena Pajak ke KPBPB menjadi dasar bagi Pengusaha Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean untuk membuat faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak dipungut PPN.

2. Pengusaha di KPBPB sebagai pihak yang memperoleh Barang Kena Pajak harus menyampaikan permintaan Endorsement atas dokumen.

 

Tag: , ,

Tukar Menukar

Dalam Pasal 1541 KUH Perdata, perjanjian tukar menukar adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.

Unsur yang tercantum dalam tukar menukar:

  1. Adanya subjek hukum
  2. Adanya kesepakatan subjek hukum
  3. Adanya objek yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak
  4. Masing-masing subjke hukum menerima barang yang menjadi objek tukar menukar.

Di dalam hukum adat, tukar menukar bukan hanya masalah kebendaan tapi termasuk juga hal yang menyangkut kejiwaan dan pemikiran serta harga menghargai antara yang satu dengan yang lain, misalnya: tukar menukar pendapat, tukar menukar budi dll.

1. Subjek dan Objek dalam Tukar Menukar

Subjek hukum dalam perjanjian tukar menukar adalah pihak pertama dan pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542 KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar menukar tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika barang yang telah ditukarkannya ternyata membuktikan bahwa yang bersangkutan bukan pemilik barang tersebut maka pihak lain tidak dapat memaksakan untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pemiliknya sendiri melainkan mengembalikan barang yang telah ia terima (Pasal 1543 KUH Perdata).

Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian tukar menukar maka ia dapat memilih apakah ia akan menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUH Perdata).

2. Hak dan Kewajiban Serta Resiko dalam Tukar Menukar

Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang ditukar.

Jika barang yang menjadi objek tukar menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian tukar menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya (Pasal 1545 KUH Perdata).

Pasal yang mengatur tentang tukar menukar sangat sedikit dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun dalam ketentuan tukar menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku juga bagi perjanjian tukar menukar.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 2 Maret 2021 inci Buku III

 

Sewa Menyewa

Sewa menyewa merupakan jenis perjanjian nominat, yaitu perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata.

1. Pengertian Sewa Menyewa

Dalam Pasal 1548 KUH Perdata disebutkan bahwa: “Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah disanggupi pembayarannya.

Dalam Syariat Islam, sewa menyewa disebut dengan istilah “Al-Ijarah” yang menurut pengertian hukum Islam diartikan sebagai “Suatu akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. Dalam kaitannya dengan perkembangan perdagangan, sewa-menyewa adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.

Ciri-ciri perjanjian sewa menyewa, yaitu:
a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri.
b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa. Dalam perjanjian sewa menyewa, pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga menggunakan barang ataupun jasa, diatur dalam Pasal 1548 KUH Perdata.
c. Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian konsensuil yang berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa menyewa yaitu barang dan harga.

2. Syarat Sahnya Sewa Menyewa

Syarat sahnya perjanjian sewa menyewa mengikuti Pasal 1320 KUH Perdata.

Syarat sahnya perjanjian sewa menyewa dalam Hukum Islam, selain memenuhi syarat kecakapan, juga harus memenuhi:
a. Masing-Masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa sehingga apabila ada unsur paksaan maka perjanjian sewa menyewa menjadi tidak sah.
b. Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan.
c. Objek Sewa Menyewa dapat dipergunakan sesuai peruntukannya.
d. Objek sewa menyewa dapat diserahkan
e. Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang diperbolehkan oleh agama.

3. Objek Perjanjian Sewa Menyewa

Objek sewa menyewa menurut Hofmann dan De Burger, yang dapat disewa adalah barang bertubuh saja namuan ada pendapat lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang berubuh saja melainkan hak-hak (yang tidak bertubuh) juga dapat disewa. Pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1922 yang menganggap kemungkinan ada persewaan untuk memburu hewa (jachtrecht).

Tujuan dari diadakannya perjanjian sewa menyewa adalah untuk memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan berstatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak menguasai atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak menggunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan.

Perjanjian sewa menyewa menurut Van Brekel, bahwa harag sewa dapat berwujud barang-barang selain uang namun barang-barang tersebut harus merupakan barang-barang bertubuh karena sifat dari perjanjian sewa menyewa akan hilang jika harga sewa dibayar dengan suatu jasa. Pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat dari Subekti yang berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Kewajiban pihak yang menyewakan diatur dalam Pasal 1550 KUH Perdata, antara lain:
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa menyewa. Misalnya disebabkan adanya tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1556 dan 1557 KUH Perdata. Jika terjadi demikian maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan asalkan gangguan dan rintangan tersebut telah diberitahukan kepada pemilik. Akan tetapi pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa.

Tentang pemeliharaan barang yang disewakan, pihak yang menyewakan diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas barang yang disewakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1551 ayat (2) KUH Perdata.

Pasal 1552 KUH Perdata mengatur tentang cacat dari barang yang disewakan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menanggung semua cacat dari barang yang dapat merintangi pemakaian barang yang disewakan walaupun sewaktu perjanjian dibuat pihak-pihak tidak mengetahui cacat tersebut. Jika cacat tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk mengganti kerugian.

Hak yang diperoleh pihak yang menyewakan menurut Pasal 1548 KUH Perdata:
a. Menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
b. Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.

Pasal 1560, 1564 dan 1583 KUH Perdata menentukan kewajiban pihak penyewa antara lain:
a. Memakai barang yang disewa sebagai “bapak rumah yang baik” sesuai dengan tujuan penyewaannya seakan-akan barang/benda yang disewa adalah miliknya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewa berbeda dengan tujuan penyewaannya sehingga merugikan pihak yang menyewakan sedemikian rupa maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa (Pasal 1561 KUH Perdata).
b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.
c. Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa.
d. Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai denga isi perjanjian sewa menyewa dan adat kebiasaan setempat.
e. Bagi seorang penyewa tanah dalam Pasal 1591, penyewa berkewajiban untuk membayar ganti rugi jika dengan pengolahannya atau penggunaannya dapat menimbulkan kerusakan pada tanah yang disewa.

Pihak Penyewa memiliki hak, yaitu:
a. Menerima barang yang disewa.
b. Memperoleh kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewanya selama waktu sewa.
c. Menuntut pembetulan atas barang yang disewa apabila pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan.

5. Resiko dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang sebagai objek dari suatu perjanjian. Resiko merupakan suatu akibat dari keadaan memaksa sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi.

Pembebanan resiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang sebagai objek sewa. Musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa dapat dibagi menjadi:

a. Musnah secara total (seluruhnya).
Pasal 1533 KUH Perdata menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu kejadian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa menyewa dengan sendirinya batal.

b. Musnah sebagian.
Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika objek perjanjian sewa menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu:
– Meneruskan perjanjian sewa menyewa dengan meminya pengurangan harga sewa.
– Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

6. Mengulangsewakan

Berdasarkan Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata, penyewa yang menyewakan objek sewa kepada pihak ketiga adalah suatu hal yang dilarang tanpa sepengetahuan dari pemilik objek sewa.

Dengan demikian dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan:
a. Mengulangsewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh seorang penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa menyewa atau disetujui oleh para pihak.
b. Jika pihak penyewa mengulangsewakan objek sewa dalam masa sewa maka pihak yang menyewakan objek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian sewa menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewa menyewa tersebut maka perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum.

7. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

Cara berakhirnya perjanjian sewa menyewa

a. Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan dalam perjanjian sewa menyewa.

1) Perjanjian sewa menyewa tertulis
Berdasarkan Pasal 1570 KUH Perdata: “jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa tersebut berakhir demi hukum apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukannya suatu pemberitahuan untuk itu”

2) Perjanjian sewa menyewa lisan
Berdasarkan Pasal 1571 KUH Perdata: “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

b. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.

Dalam hal-hal tertentu, perjanjian sewa menyewa dapat berakhir karena:
1) Permohonan/Pernyataan dari salah satu pihak.
2) Putusan Pengadilan
3) Benda objek sewa menyewa musnah
Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 1 Maret 2021 inci Buku III, Hukum Perdata