RSS

Arsip Kategori: Bab I – Ketentuan Umum

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH OLEH KREDITUR KEPADA PEMBELI AGUNAN

A. Subjek dan Objek Pajak

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Agunan yang diambil alih oleh Kreditur untuk penyelesaian Kredit, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau Pinjaman atas Dasar Hukum Gadai, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Kreditur.

B. Tarif

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Agunan yang diambil alih oleh Kreditur dilakukan pada saat penerimaan pembayaran oleh Kreditur dari Pembeli Agunan atas penyerahan Agunan.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut dan disetor dengan besaran tertentu, yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa harga jual Agunan.

C. Faktur Pajak

Kreditur yang merupakan Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa Agunan. Tagihan atas penjualan Agunan atau dokumen lain yang sejenis diperlakukan sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, paling sedikit memuat keterangan sebagai berikut:
– nomor dan tanggal dokumen;
– nama dan nomor pokok wajib pajak Kreditur;
– nama dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan Debitur;
– nama dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan Pembeli Agunan;
– uraian Barang Kena Pajak;
– dasar pengenaan pajak; dan
– jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.

Atas pengambilalihan Agunan oleh Kreditur dari Debitur tidak diterbitkan Faktur Pajak.

D. Pelaporan

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Agunan tidak dapat dikreditkan oleh Kreditur.

Pembeli Agunan yang merupakan Pengusaha Kena Pajak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak yang diterbitkan Kreditur.

E. Contoh Kasus

Bank A memberikan Kredit kepada Tuan Oscar dengan Agunan berupa tanah dan bangunan yang beralamat di Jalan Arwana Nomor 35, Kota Solo. Tanah dan bangunan terse but memiliki luas 150 meter persegi dan dibebani hak tanggungan. Tuan Oscar dinyatakan wanprestasi oleh Bank A. Pada tanggal 1 Juli 2023, Agunan berhasil dijual kepada Tuan Adhi dan diterima pembayarannya dengan harga jual sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Berdasarkan informasi di atas maka:

Bank A sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan Agunan kepada Tuan Adhi dengan ketentuan sebagai berikut:

1. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan oleh Bank A pada tanggal 1 Juli 2023;

2. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebesar 10% x 11% x Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) atau Rp11.000.000,00 (sebelas juta rupiah);

3. Bank A wajib membuat Faktur Pajak yang dapat berupa tagihan dengan ketentuan memuat informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nomor dan tanggal dokumen tagihan atas penjualan Agunan;
b. nama dan nomor pokok wajib pajak Bank A;
c. nama dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan Tuan Oscar sebagai Debitur;
d. nama dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan Tuan Adhi sebagai Pembeli Agunan;
e. uraian Barang Kena Pajak diisi tanah dan bangunan dengan alamat Jalan Arwana Nomor 35, Kota Solo dengan luas 150 meter persegi;
f. dasar pengenaan pajak diisi Rpl.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); dan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut diisi Rp11.000.000,00 (sebelas juta rupiah);

4. Bank A menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut sebesar Rp11.000.000,00 (sebelas juta rupiah) dengan menggunakan surat setoran pajak paling lambat pada tanggal 31 Agustus 2023 (misalkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan ke kantor pelayanan pajak oleh Bank A pada tanggal 31 Agustus 2023) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. nama dan kolom nomor pokok wajib pajak diisi dengan nama dan nomor pokok wajib pajak Bank A
b. kode akun pajak diisi kode 411211;
c. kode jenis setoran diisi kode 100; dan
d. wajib pajak atau penyetor diisi dengan nama dan nomor pokok wajib pajak Bank A;

5. melaparkan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lambat 31 Agustus 2023;

 

PENYERAHAN DALAM PPN

Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN, Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat 3 bahasan utama yang akan dibahas, yaitu: penyerahan, Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dan terakhir adalah Pengusaha Kecil. Pembahasan pertama terkait PPN adalah penyerahan.

Berdasarkan Pasal 1A ayat (1) Undang-Undang PPN, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

Yang dimaksud dengan “Perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Termasuk dalam pengertian penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian merupakan penyerahan agunan oleh kreditur kepada Pembeli. Agunan merupakan Barang Kena Pajak yang diambil alih oleh kreditur berdasarkan: hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah; jaminan fidusia; hipotek; gadai; atau pembebanan sejenis lainnya.

Contoh 1:
Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada Tuan C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh 2:
PT D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan jaminan fidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan Tuan E sebelum agunan dijual. Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);

Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80, Sewa beli (Hire Purchase) adalah Jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).

3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.

Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah. Penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak diketahui dengan pasti pemiliknya.

4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.

Dikecualikan dari ketentuan ini adalah penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;

Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.

Tempat kegiatan yang semata-mata melakukan pembelian atau pengumpulan bahan baku tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila:
a. tempat tersebut digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan kegiatan pembelian atau pengumpulan Barang Kena Pajak (dalam hal ini bahan baku) guna menjaga ketersediaan bahan baku yang diperlukan dalam kegiatan produksi Pengusaha Kena Pajak ditempat kegiatan usahanya (pabrik); dan
b. semata-mata hanya melakukan penyerahan bahan baku yang dibeli atau dikumpulkannya tersebut ke tempat kegiatan usahanya (pabrik) dan tidak melakukan penyerahan kepada pihak lain; serta
c. tidak melakukan kegiatan usaha.

7. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Berdasarkan Pasal 1A ayat (1) Undang-Undang PPN, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

Yang dimaksud dengan “makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.

2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

Ketentuan ini juga berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, sepanjang Barang Kena Pajak tersebut pada akhirnya diserahkan kembali kepada pihak yang semula menyerahkannya.


Yang dimaksud dengan “penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah” antara lain:

a. penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special purpose entity); dan

Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah.

Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk:

PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlying dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaran sewa berupa cicilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa fee ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh: PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan investor kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

b. penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah.

Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah:

Tuan A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm OiI (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, dan pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) kepada Tuaan A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, Tuan A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh: anggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B; Bank Syariah B kepada Tuan A; dan Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

3.penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang dalam hal pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.

4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan

Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:

a. Pengusaha Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak ada Pajak Pertambahan Nilai yang terutang;

b. pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Niiai yang terutang namun tidak dipungut oleh pengusaha tersebut karena belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau

c. Pengusaha Kena Pajak kepada pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam hal Barang Kena Pajak yang dialihkan berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (mengacu kepada Pasal 16D UU PPN).

5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 2 April 2022 inci Bab I - Ketentuan Umum

 

KETENTUAN UMUM PPN

A. Mekanisme Pemungutan Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Ada dua bentuk pajak konsumsi yang propuler dianut dalam sistem perpajakan negara-negara di dunia, yaitu pajak penjualan/PPn (sales tax) dan pajak pertambahan nilai/PPN (value added tax).

Pajak penjualan (PPn) atau sales tax merupakan pajak atas konsumsi yang mekanisme pengenaannya secara tidak langsung. PPn dikenakan atas penjualan barang atau jasa tertentu yang ditentukan undang undang. Pemungutan PPn dilakukan oleh penjual ketika melakukan penjualan barang atau jasa kepada konsumen. Konsumen akan membayar sebesar harga barang ditambah dengan pajak (PPn). Selanjutnya PPn yang dipungut tersebut disetorkan penjual ke kas negara.

Untuk memberikan gambaran mekanisme pengenaan PPn dapat disimak ilustrasi berikut ini. A seorang produsen menjual barang kepada distributor B dengan harga jual Rp10.000.000. Oleh B barang tersebut dijual kepada pengecer C dengan harga jual Rp15.000.000. Selanjutnya oleh C barang tersebut dijual ke konsumen D dengan harga jual Rp20.000.000. Asumsi tarif PPn 10%

Dalam kasus ini ketika A menjual barang ke B maka A akan memungut PPn sebesar 1.000.000, dengan demikian B harus membayar kepada A sebesar Rp11.000.000. Selanjutnya A harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp1.000.000 ke kas negara. Ketika B menjual barang ke C maka C akan memungut PPn sebesar 1.500.000, dengan demikian C harus membayar kepada B sebesar Rp16.500.000. Selanjutnya B harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp1.500.000 ke kas negara. Ketika C menjual barang ke D maka C akan memungut PPn sebesar 2.000.000, dengan demikian D harus membayar kepada C sebesar Rp22.000.000. Selanjutnya C harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp2.000.000 ke kas negara.

Mekanisme PPn ini mengandung sejumlah kelemahan, yaitu:

  1. PPn yang dibayar oleh pembeli diperlakukan sebagai beban/biaya (expense) sehingga ketika pembeli menjual kembali barang tersebut kepada pihak lain PPn yang telah dibayar akan dimasukkan dalam komponen harga pokok penjualan. Harga pokok ditambah dengan keuntungan didapatkan harga jual. Harga jual kemudian dikenakan PPn. Artinya ketika dijual ke pihak lain dalam harga jual terdapat unsur PPn yang kemudian dikenakan PPn lagi. Kondisi disitilahkan dengan cash cadding effect. Dalam ilustrasi kasus diatas PPn yang dibayar oleh distributor B sebesar 1.000.000 dimasukkan dalam komponen harga pokok penjualan. Dengan asumsi laba yang diharapkan oleh B sebesar Rp4.000.000 maka harga jual barang menjadi Rp15.000.000 (terdiri dari harga beli barang Rp10.000.000 ditambah PPn pembelian Rp1.000.000 ditambah laba Rp4.000.000). Dengan demikian ketika harga jual dikenakan PPn sebesar Rp1.500.000 terdapat PPn dalam komponen harga pokok yang dikenakan PPn lagi. Kondisi kembali berulang ketika barang dijual oleh pengecer C
  2. Semakin panjang rantai distribusi maka pajak yang disetor ke kas negara akan semakin besar. Kondisi ini menimbulkan situasi yang tidak netral antara usaha dengan rantai distribusi yang panjang dan rantai distribusi yang pendek. Dalam ilustrasi diatas PPn yang dihimpun olah negara sebesar Rp4.500.000 (atau Rp1.000.000+Rp1.500.000+Rp2.000.000)

Pemungutan PPN dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui penjual yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak kepada pembeli. Ketika pembeli membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak maka harus membayar PPN yang dipungut melalui penjual, sehingga pengusaha kena pajak tersebut harus membayar sebesar harga barang ditambah dengan PPN. Sebagai bukti pemungutan PPN pihak penjual akan menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli faktur pajak tersebut diaggap sebagai pajak masukan (VAT In), yang merupakan uang muka pajak bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli. Selanjutnya ketika pengusaha kena pajak menjual kembali (melakukan penyerahan) barang kena pajak atau jasa kena pajak dia berkewajiban memungut PPN dengan kewajiban menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku penjual faktur pajak yang diterbitkan tersebut dianggap sebagai pajak keluaran (VAT Out) yang sifatnya sebagai hutang pajak. Apabila pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka kelebihan tersebut merupakan kewajiban PPN yang harus disetor ke kas negara.

Untuk memberikan gambaran mekanisme pengenaan PPN dapat disimak ilustrasi berikut ini. A seorang produsen menjual barang kepada distributor B dengan harga jual Rp10.000.000. Oleh B barang tersebut dijual kepada pengecer C dengan harga jual Rp15.000.000. Selanjutnya oleh C barang tersebut dijual ke konsumen D dengan harga jual Rp20.000.000. Asumsi tarif PPN 10%.

Dalam kasus ini ketika A menjual barang ke B maka A akan memungut PPn sebesar 1.000.000, dengan demikian B harus membayar kepada A sebesar Rp11.000.000. PPN sebesar 1.000.000 tersebut bagi A merupakan pajak keluaran, sedangkan bagi B merupakan pajak masukan. Karena A tidak mempunyai pajak masukan maka jumlah yang harus disetor oleh A ke kas negara adalah sebesar Rp1.000.000.

Ketika B menjual barang ke C maka C akan memungut PPN sebesar 1.500.000, dengan demikian C harus membayar kepada B sebesar Rp16.500.000. PPN sebesar Rp1.500.000 tersebut bagi B merupakan pajak keluaran sedangkan bagi C merupakan pajak masukan. Selanjutnya B harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp500.000 yang selisih pajak keluaran Rp1.500.000 dengan pajak masukan Rp1.000.000.

Ketika C menjual barang ke D maka C akan memungut PPN sebesar 2.000.000, dengan demikian D harus membayar kepada C sebesar Rp22.000.000. PPN sebesar Rp2.000.000 tersebut bagi C merupakan pajak keluaran sedangkan bagi D pajak masukan tersebut tidak dapat dikurangkan karena D merupakan konsumen akhir, atau dengan kata lain PPN sebesar Rp2.000.000 sebagai beban bagi D selaku konsumen akhir. Selanjutnya C harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp500.000 yang selisih pajak keluaran Rp2.000.000 dengan pajak masukan Rp1.500.000.

Dalam ilustrasi diatas jumlah PPN yang disetor ke kas negara Rp2.000.000 (atau Rp1.000.000+Rp500.000+Rp500.000) akan sama dengan PPN yang dibayar oleh konsumen akhir. Dengan demikian tujuan pemajakan atas konsumsi dapat tercapai dengan mekanisme ini. Pajak sejatinya dikenakan kepada konsumen akhir. Produsen, distributor dan pengecer sejatinya tidak memikul beban pajak, mereka hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah saja dalam melakukan pemajakan. Dapat pula dikatakan bahwa sejatinya PPN bukan merupakan pajak atas kegiatan bisnis, karena tujuan pemajakan bukan kepada pelaku usaha tapi kepada konsumen akhir.

B. Karakteristik PPN

Legal karakter (legal character) PPN merupakan ciri khas mekanisme menungutan PPN di Indonesia yang membedakannya dengan pemungutan pajak-pajak lain. PPN di Indonesia mempunyai legal karakter, sebagai berikut:

  1. Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung dan Pajak Objektif.
    Karakter PPN sebagai pajak tidak langsung ini menimbulkan konsekuensi bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas penyetoran pajak ke kas negara berada pada pihak-pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini berada pada pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pelaporan/penyetoran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau pengusaha JKP selaku pengusaha yang menyerahkan JKP.
    PPN sebagai pajak objektif yang bermakna bahwa timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. PPN tidak membedakan antara konsumen orang pribadi dengan konsumen berbentuk badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama. Sebagai pajak objektif PPN menimbulkan dampak regresive yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi dampak regresif ini, terhadap konsumen yang mengonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan PPnBM di samping PPN.
  2. Multi Stage Levy namun Non Kumulatif.
    Multi stage tax adalah karakteristik PPN yang mempunyai makna PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi obyek PPN mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian ditingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan PPN.
  3. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan indirect subtraction method.
    Indirect Subtraction Method adalah metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa.
  4. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri sehingga memiliki kedudukan netral.
    Sebagai pajak atas konsumsi mengandung makna bahwa PPN bukanlah pajak atas kegiatan bisnis, dan dalam mekanisme PPN sejatinya pemikul beban pajak adalah konsumen. Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri.
  5. PPN Indonesia menerapkan tarif tunggal (single rate)
    Pasal 7 ayat (1) UU PPN mengatur bahwa atas penyerahan BKP dikenakan PPN dengan tarif 10%. Sedangkan tarif ekspor BKP yang ditentukan pada ayat (2) sebesar 0% secara ekonomis tidak akan menimbulkan beban pajak. Tarif 0% yang dibuat dengan maksud untuk menjaga netralitas PPN tanpa mengorbankan aspek ekonomi yaitu PPN tetap menjaga daya saing komoditi ekspor di luar negeri (negara tujuan).
  6. PPN Indonesia termasuk tipe konsumsi (Consumption Type VAT)
    Dalam mekanisme PPN di Indonesia semua pembelian yang berkaitan secara langsung dengan kegiatan usaha dikurangkan dari penghitungan nilai tambah. Pengertian berkaitan langsung dengan kegiatan usaha adalah berkaitan dengan produksi, distribusi, manajemen atau pemasaran.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 15 Februari 2021 inci Bab I - Ketentuan Umum

 

PPN atas Penyerahan Cuma-Cuma Dan Pemakaian Sendiri

Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan Atau Jasa Kena Pajak dapat digunakan untuk tujuan produktif dan bukan untuk tujuan produktif.

A. Pemakaian Sendiri untuk Tujuan Produktif

Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:
1. Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare parts/barang dagangan dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli.
2. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
3. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya.
1. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
2. Pabrikan kayu lapis/plywood menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis/plywood untuk membungkus kayu lapis/plywood yang akan dipasarkan agar tidak rusak.
3. Perusahaan telekomunikasi melalui sambungan saluran teleponnya selain menyediakan jasa komunikasi melalui telepon juga menyediakan jasa provider internet bagi konsumennya.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemakaian sendiri atau atas perolehan Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Besarnya Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atas pemakaian sendiri adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

B. Pemakaian Sendiri Bukan Untuk Tujuan Produktif

Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak bukan untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran dan sekaligus merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Contoh pemakaian sendiri bukan untuk tujuan produktif:
1. Pabrikan minimum ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
2. Dalam rangka promosi produk sepatu yang baru, pabrikan sepatu membeli topi dalam jumlah yang besar. Sebagian dari topi tersebut diberikan untuk konsumsi karyawannya.
3. Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemakaian sendiri atau atas perolehan Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Besarnya Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atas pemakaian sendiri adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

C. Pemberian Cuma-Cuma

Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri atau menyatu dengan barang yang dijual serta atas pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan dibayar sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dan merupakan Pajak Keluaran.

Contoh Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak:
1. Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya kepada korban bencana alam.
2. Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.
3. Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol produk shamponya.
4. Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor kepada pemerintah untuk mengatasi tanah longsor.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemberian cuma-cuma atau atas perolehan Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak atau diberikan cuma-cuma merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak penerima Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundangan yang berlaku.

Besarnya Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atas pemberian cuma-cuma adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 15 Desember 2020 inci Bab I - Ketentuan Umum

 

Perlakuan PPN atas Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi dan Sales and Lease Back

Pembaca dapat mengikuti artikel sebelumnya dengan judul “Sewa Guna Usaha

Kegiatan sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. Dalam kegiatan sewa guna usaha tersebut, pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang penyewa guna usaha (lessee) yang kemudian disewagunausahakan kembali (sale and leaseback).

A. Transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi

1. Transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi

a. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (supplier):
1) Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;
2) Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
3) Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).
4) Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.

b. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari dari persediaan yang telah dimiliki oleh lessor:
1) Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu: Penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai; dan penyerahan Barang Kena Pajak, yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai.
2) Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut kepada lessee.
3) Pengukuhan lessor sebagai Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan dengan tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
4) Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur bunga yang diminta atau seharusnya diminta oleh lessor karena jasa pembiayaan yang diserahkannya.

B. Transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali (sale and leaseback)

1. Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha dengan hak opsi:

a) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai karena:
1) Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee, yang dijual oleh lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
2) Lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut;
3) penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee kepada lessor pada dasarnya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
b) penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

2. Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha tanpa hak opsi:

a) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b) penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana kegiatan usaha sewa menyewa pada umumnya.

 

Sewa Guna Usaha

A. Kegiatan Usaha

Sewa guna usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara:

1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease);

Kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya, maka lessor diperlakukan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut:
a. jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan; Penggolongan jenis barang modal yang disewa guna usaha ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).

Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut:
a. jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa guna usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
b. perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee

Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada pihak lain.

Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa guna usahakan dengan mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat dalam perjanjian sewa guna usaha. Plakat atau etiket harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang pengadaannya tidak dilakukan secara sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket tetap melekat pada barang modal yang disewa guna usaha.

B. Perlakuan Akuntansi

Akuntansi transaksi sewa guna usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa guna usaha di Indonesia.

C. Perlakuan Perpajakan

1. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi

a. Perlakuan PPN

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

b. Perlakuan PPh

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut:

1) penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha, yaitu seluruh pembayaran sewa guna usaha dikurangi dengan angsuran pokok;
2) lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa guna usahakan dengan hak opsi;
3) dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
4) lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa guna usaha dengan hak opsi, yaitu jumlah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang meliputi angsuran pokok (principal) dan bunga.
5) kerugian yang diderita karena piutang sewa guna usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
6) dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut:
1) selama masa sewa guna usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;
2) setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
3) pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut memenuhi ketentuan.
4) dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha.
5) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi.

2. Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi

a. Perlakuan PPN

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa guna usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang Pajak Pertambahan Nilai.

b. Perlakuan PPh

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut:

1) seluruh pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
2) lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa guna usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya.
3) lessor tidak diperkenankan membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu.

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut:

1) pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2) lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 12 Desember 2020 inci Bab I - Ketentuan Umum, Penggalian Potensi

 

Tag: ,