A. Mekanisme Umum Pelaporan Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP, Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1b) Undang-Undang KUP, Penandatanganan Surat Pemberitahuan dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang KUP, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. Surat kuasa khusus ini harus dibuat untuk SPT Masa PPN dari satu masa pajak.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang KUP, penyampaian SPT dapat dilakukan Wajib Pajak melalui :
1. Penyampaian langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dan atas penyampaian tersebut harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan,
2. Penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau
Tanda bukti pengiriman surat dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
3. Dengan cara lain, dilakukan melalui :
a. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
b. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, meliputi :
1) laman Direktorat Jenderal Pajak;
2) laman penyalur SPT elektronik;
3) saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu;
4) jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan
5) saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu diberikan bukti penerimaan elektronik.
Berdasarkan Pasal 15A ayat (1) Undang-Undang PPN, Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Hari libur yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.
Berdasarkan Pasal 15A ayat (2) Undang-Undang PPN, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018, selanjutnya disebut PMK Nomor 243/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK Nomor 9/PMK.03/2018, dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Hari libur yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.
Berdasarkan PMK Nomor 243/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK Nomor 9/PMK.03/2018, terdapat beberapa pengaturan terkait pelaporan SPT Masa PPN :
1. SPT Masa PPN wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik (Pasal 3A ayat 3).
2. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik (Pasal 3A ayat 4).
3. Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik wajib menyampaikan SPT Masa PPN melalui saluran tertentu (Pasal 8 ayat 7).
4. Kewajiban penyampaian SPT melalui saluran tertentu berlaku untuk SPT yang disampaikan sejak bulan April 2018 (Pasal 26A).
5. Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu, namun Wajib Pajak bersangkutan menyampaikan SPT selain melalui saluran tertentu. Terhadap Wajib Pajak tersebut dianggap tidak menyampaikan SPT (Pasal 8 ayat 9 jo ayat 10).
6. Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 10 ayat 7).
7. Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut PPN dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM (Pasal 10 ayat 8 dan 8a).
8. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi (Pasal 11 ayat 2 dan 2a).
9. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi (Pasal 11 ayat 3 dan ayat 4).
B. SPT Masa PPN 1111 DM
SPT Masa PPN 1111 DM wajib diisi oleh setiap PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, meliputi :
1. PKP berdasarkan peredaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) Undang-Undang PPN, atau
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu, diatur sebagai berikut :
a. Pengusaha Kena Pajak yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan adalah Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)
b. Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan apabila memenuhi syarat :
1) mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
2) Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak yang bermaksud menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling lama :
1) pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah);
2) pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
d. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar :
1) 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
2) 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.
e. Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak, yaitu jumlah peredaran usaha.
f. Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan menurut ketentuan ini tidak dapat membebankan Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
g. Dalam hal terjadi retur, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
h. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu yang pengkreditan Pajak Masukannya menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak diperkenankan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
2. PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) Undang-Undang PPN
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu
a. Kegiatan usaha tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.
b. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran.
c. Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini tidak dapat membebankan Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini walaupun Pengusaha Kena Pajak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (7) Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai.
e. Dalam hal terjadi retur, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
C. SPT Masa PPN 1111
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPn) s.t.d.t.d. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2014
1. SPT Masa PPN 1111 wajib diisi oleh setiap PKP selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
2. Pajak Masukan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikreditkan namun tidak dilakukan pengkreditan oleh PKP, harus dilaporkan dalam Formulir 1111 B3.