RSS

Arsip Bulanan: Oktober 2019

PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur Bagi PNS, TNI/Polri, Pejabat Negara dan Pensiunannya Yang Dananya Berasal dari APBN/APBD

A. Objek PPh Pasal 21 Final
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 bersifat final oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut, dengan tarif:
1. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
2. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;
3. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lernbaga yang tidak termasuk sebagai pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang pajak penghasilan dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD adalah penghasilan bruto.

B. Contoh Perhitungan

Contoh I
Fitria Ratna Wardika adalah PNS golongan III/d, pada bulan Maret 2019 menerima honorarium sebagai nara sumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp. 5.000.000,00.
PPh Pasal 21 Final yang terutang:
5% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 250.000

Catatan:
1. PPh Pasal 21 atas honorarium sebagai nara sumber tidak ditanggung pemerintah dan dipotong PPh Pasal 21 bersifat final.
2. Bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium wajib:
a. memotong PPh Pasal 21 Final dan menyetorkannya ke bank persepsi atau Kantor Pos;
b. membuat bukti pemotongan PPh Pasal Final paling lama akhir bulan dilakukan pembayaran;
c. melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 Final melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21.
Contoh II
Yayuk, PNS Golongan II/d, pada tanggal 21 Maret 2019 menerima honorarium sebagai salah satu anggota Tim Kerja besar Rp. 1.500.000,00, selama 6 bulan.
PPh Pasal Final yang terutang:
0% x Rp. 1.500.000,00 = Rp. 0,00

Catatan :
Walaupun PPh Pasal Final yang dipotong Rp. 0,00, Bendahara pemerintah wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 Final paling lama akhir bulan Maret 2019.

C. Dasar Hukum
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 TAHUN 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 19 Oktober 2019 inci 1. PPh Pasal 21

 

Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 untuk PNS, TNI/Polri, Pejabat Negara dan Pensiunannya

Perhitungan PPh Pasal 21 ini mencakup perhitungan :
1. PNS/TNI/Polri, Pejabat Negara yang meliputi perhitungan PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak, pada saat menerima gaji dan tunjangan ke 13, saat menerima rapel, dan perhitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak Desember
2. Perhitungan PPh Pasal 21 pensiunan

Perhitungan PPh Pasal 21 dapat dilihat di sini
Materi penghitungan PPh Pasal 21 PNS/TNI/Polri, pejabat negara dan pensiunannya dapat dilihat di sini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 18 Oktober 2019 inci 1. PPh Pasal 21

 

PPh PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, POLRI DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

A. Penghasilan yang Dikenai PPh Pasal 21
Penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21 meliputi penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD bagi:
1. Pejabat Negara, untuk:
a. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
b. imbalan tetap sejenisnya,
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Pemerintah. PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sehingga bukan merupakan penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21.

B. Kewajiban Pemilikan NPWP
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak kepada bendahara pemerintah. Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan dengan memberikan:
1. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah; atau
2. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari Nomor Pokok Wajib Pajak suami,
kepada bendahara pemerintah.

C. PPh Pasal 21 Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI
1. Penghasilan bruto merupakan penjumlahan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD.
2. Besarnya Penghasilan neto bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan:
a. biaya jabatan; dan
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
3. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.03/2008, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
4. Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
5. PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak.

D. PPh Pasal 21 Pensiunan
1. Penghasilan bruto Pensiunan merupakan penjumlahan uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan.
2. Besarnya penghasilan neto bagi pensiunan ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun.
3. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.03/2008, Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.
4. Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
5. PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak.

E. Kewajiban Pemotongan Pajak
Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Bendahara pemerintah tersebut wajib:
1. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan; dan
2. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak.
Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan tetap dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0% (nol persen). Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.
Bendahara pemerintah memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:
1. awal tahun kalender;
2. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI;
3. saat mulai pensiun,
sebagai dasar penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya kepada bendahara pemerintah.

F. Dasar Hukum
1. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 17 Oktober 2019 inci 1. PPh Pasal 21

 

Pita Cukai Hasil Tembakau

Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat PCHT disediakan dalam tiga seri, yaitu
1. Seri I berjumlah 120 (seratus dua puluh) keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1,2 cm X 11,7 cm;
2. Seri II berjumlah 56 (lima puluh enam) keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1,7 cm X 17,7 cm; dan
3. Seri III tanpa perekat berjumlah 150 (seratus lima puluh) keping per lembar dengan ukuran setiap keping 2,3 cm X 4.8 cm; dan
4. Seri III dengan perekat berjumlah 60 (enam puluh) keping per lembar dengan ukuran setiap keping 1.9 cm X 7,4 cm.

Setiap keping pita cukai hasil tembakau paling kurang memiliki spesifikasi desain yaitu:
1. lambang Negara Republik Indonesia;
2. lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3. tarif cukai;
4. angka tahun anggaran;
5. harga jual eceran dan/atau jumlah isi kemasan;
6. teks ”REPUBLIK” atau ”INDONESIA”;
7. teks ”CUKAI HASIL TEMBAKAU”; dan
8. jenis hasil tembakau.

Peruntukan Pita Cukai Hasil Tembakau
1. Pita cukai hasil tembakau seri I dan/atau seri II digunakan untuk jenis SKT, SPT, SKTF, SPTF, KLB, TIS, KLM, dan CRT.
2. Pita cukai hasil tembakau seri III tanpa perekat digunakan untuk jenis SKM, SPM, CRT, dan HPTL dengan kemasan akhir berupa karton dan sejenisnya.
3. Pita cukai hasil tembakau seri III dengan perekat digunakan untuk jenis HPTL dengan kemasan akhir berupa botol dan sejenisnya.

Jenis hasil tembakau antara lain :
1. Sigaret Kretek Mesin yang selanjutnya disingkat SKM adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya atau sebagian menggunakan mesin.
2. Sigaret Putih Mesin yang selanjutnya disingkat SPM adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya atau sebagian menggunakan mesin.
3. Sigaret Kretek Tangan yang selanjutnya disingkat SKT adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
4. Sigaret Kretek Tangan Filter yang selanjutnya disingkat SKTF adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
5. Sigaret Putih Tangan yang selanjutnya disingkat SPT adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
6. Sigaret Putih Tangan Filter yang selanjutnya disingkat SPTF adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
7. Tembakau Iris yang selanjutnya disingkat TIS adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
8. Rokok Daun atau Klobot yang selanjutnya disingkat KLB adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
9. Sigaret Kelembak Menyan yang selanjutnya disingkat KLM adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
10. Cerutu yang selanjutnya disingkat CRT adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
11. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang selanjutnya disingkat HPTL adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut diatas yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

Pita cukai hasil tembakau memiliki warna sebagai berikut:
1. Warna hijau, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, dan SPT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan I;
2. Warna jingga, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, dan SPT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan II;
3. Warna kuning, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKT dan SPT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan III;
4. Warna merah, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKTF, SPTF, TIS, KLB, KLM, CRT, dan HPTL; dan
5. Warna biru, digunakan untuk hasil tembakau yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean.

Dasar Hukum
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2009 tentang Bentuk Fisik dan/atau Spesifikasi Desain Pita Cukai Hasil Tembakau dan Minuman Mengandung Etil Alkohol
2. Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor PER – 20/BC/2018 tentang Bentuk Fisik dan/atau Spesifikasi Desain Pita Cukai Hasil Tembakau dan Pita Cukai Minuman yang Mengandung Etil Alkohol Tahun 2019

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 16 Oktober 2019 inci Cukai

 

Penjualan Rokok Melebihi Harga Jual Eceran Terutang PPN

Untuk para perokok pasti sudah mahfum bahwa harga yang harus ditebus untuk sebungkus rokok pasti lebih tinggi dibandingkan harga yang tertera pada pita cukai rokok. Kadang konsumen tidak mengetahui secara pasti penyebab perbedaan harga ini. Konsumen hanya menerka perbedaan ini adalah keuntungan dari para penjaja rokok. Timbul pertanyaan, apabila selisih harga rokok ini merupakan keuntungan apakah atas keuntungan ini terutang PPN?

Saat terutang PPN atas penyerahan (penjualan) rokok yang rantai distribusinya dimulai dari Produsen dan/atau Importir kemudian ke Pengusaha Penyalur (distributor – red) hingga ke konsumen akhir dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai satu kali pada tingkat Produsen dan/atau Importir pada saat Produsen dan/atau Importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau. Konsekuensinya adalah Pengusaha Penyalur yang semata-mata hanya melakukan penyerahan Hasil Tembakau tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak walaupun peredaran bruto (omset – red) melebihi Batasan Pengusaha Kecil menurut Undang-Undang PPN yaitu Rp4.800.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan rokok dihitung dengan menerapkan tarif efektif sebesar 9,1 % (sembilan koma satu persen) dikalikan dengan Harga Jual Eceran apabila rokok dilekatkan pita cukai. Untuk rokok yang dalam distribusinya tidak dilekati pita cukai, Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai 10% (sepuluh persen) dengan harga jual rokok.

Penjualan rokok yang melebihi harga jual eceran rokok menimbulkan objek PPN baru yang belum dikenakan PPN berupa selisih antara harga jual kepada konsumen dengan harga jual eceran. Selisih antara harga jual kepada konsumen dengan harga jual eceran wajib dilakukan pemotongan PPN oleh pihak penjual dengan mengalikan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dengan selisih tersebut.

 

Contoh Pengisian SPT Masa PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau

PT ABC merupakan produsen rokok merk XYZ, STU, dan PQR membukukan penjualan selama Masa Pajak Oktober 2019 sebesar Rp30.500.000,00.

Contoh lengkap pengisian SPT Masa PPN dapat diunduh di sini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 14 Oktober 2019 inci Pajak Pertambahan Nilai

 

PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau

A. Objek Pajak
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
1. Atas penyerahan Hasil Tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Produsen; atau
Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Produsen adalah orang pribadi atau badan hukum yang mengusahakan pabrik Hasil Tembakau dan memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
2. Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri oleh Importir.
Importir Barang Kena Cukai berupa Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Importir adalah orang pribadi atau badan hukum yang memasukkan barang kena cukai berupa Hasil Tembakau ke dalam Daerah Pabean.
Dalam hal atas impor Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilai, atas impor Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai Impor.
Atas impor Hasil Tembakau yang memperoleh fasilitas tidak dipungut cukai atau pembebasan cukai, dikenai Pajak Pertambahan Nilai impor sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.

B. Tarif Efektif, Dasar Pengenaan Pajak, dan Saat Terutang
Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan Hasil Tembakau dihitung dengan menerapkan tarif efektif sebesar 9,1 % (sembilan koma satu persen).dikalikan dengan Nilai Lain.
Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Hasil Tembakau adalah Nilai Lain, yang terdiri :
1. Harga Jual Eceran Hasil Tembakau untuk penyerahan Hasil Tembakau; atau
2. Harga Jual Eceran Hasil Tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum setelah dikurangi laba bruto untuk penyerahan Hasil Tembakau yang diberikan secara cuma-cuma.
Saat terutang PPN atas penyerahan Hasil Tembakau adalah sebagai berikut :
1. mulai dari tingkat Produsen dan/atau Importir, Pengusaha Penyalur hingga ke konsumen akhir dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai satu kali pada tingkat Produsen dan/atau Importir pada saat Produsen dan/atau Importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dibuat menggunakan Dokumen CK-1 pada saat Produsen dan/atau Importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau. Dokumen CK-1 merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Dalam hal terjadi kesalahan perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Dokumen CK-1, Importir dan/atau Produsen harus:
a. membuat Tanda Bukti Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Dokumen CK-1 yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Dokumen CK-1; dan
b. melaporkan Dokumen CK-1 dan Tanda Bukti Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Dokumen CK-1 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Dokumen CK-1 yang dilengkapi Tanda Bukti Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Dokumen CK-1 merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak pengganti.
2. Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Hasil Tembakau yang diberikan secara cuma-cuma terutang pada saat Produsen dan/atau Importir menyerahkan Hasil Tembakau kepada penerima barang.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dibuat Faktur Pajak pada saat Produsen dan/atau Importir menyerahkan Hasil Tembakau kepada penerima barang.

C. Pajak Masukan atas Penyerahan Hasil Tembakau
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Hasil Tembakau yang dilakukan oleh Produsen dan/atau Importir dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Hasil Tembakau yang dilakukan oleh Pengusaha Penyalur, tidak dapat dikreditkan.

D. Hasil Tembakau yang dalam distribusinya tidak dilekati pita cukai
Atas Hasil Tembakau yang dalam distribusinya tidak dilekati pita cukai dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada saat impor oleh Importir dan/atau pada saat penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berupa:
1. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri dengan Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Hasil Tembakau oleh Importir; atau
2. Faktur Pajak untuk penyerahan Hasil Tembakau oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa Nilai Impor untuk impor Hasil Tembakau oleh Importir; atau Harga Jual untuk penyerahan Hasil Tembakau oleh Pengusaha Kena Pajak.

E. Perusakan Pita Cukai Hasil Tembakau dan PPN atas Pita Cukai yang Dikembalikan
Dalam hal terjadi perusakan pita cukai Hasil Tembakau sebagaimana tercantum dalam Dokumen CK-2 dan/atau pengembalian pita cukai Hasil Tembakau sebagaimana tercantum dalam Dokumen CK-3, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor atas pita cukai yang dirusak dan/atau dikembalikan dilakukan penghitungan kembali dengan menggunakan Tanda Bukti Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Dokumen CK-2 dan/atau Dokumen CK-3.
Dokumen CK-2 dan/atau Dokumen CK-3 yang dilampiri dengan Tanda Bukti Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Dokumen CK-2 dan/atau Dokumen CK-3 merupakan Pajak Pertambahan Nilai disetor dimuka pada Masa Pajak diterimanya Dokumen CK-2 dan/atau Dokumen CK-3.

Dokumen CK-1, CK-2, dan CK-3 dapat diunduh di sini

F. Jasa Maklon Produksi Hasil Tembakau
Atas penyerahan jasa maklon produksi Hasil Tembakau oleh Pengusaha Kena Pajak Mitra Produksi kepada Produsen dikenai Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa Penggantian.
Jasa maklon produksi Hasil Tembakau merupakan kegiatan pemberian jasa dalam rangka proses menghasilkan Hasil Tembakau yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi pada pengguna jasa.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Mitra Produksi menghasilkan Hasil Tembakau karena pesanan dan atas petunjuk dari Produsen, namun bahan baku dan/atau bahan penolong/pembantu untuk memproduksi Hasil Tembakau disediakan oleh Mitra Produksi, atas penyerahan Hasil Tembakau dari Mitra Produksi kepada Produsen terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual.

G. Pengukuhan PKP
Produsen dan/atau Importir yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kecil sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat memilih dan melaporkan kegiatan usahanya untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Penyalur yang semata-mata hanya melakukan penyerahan Hasil Tembakau tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

H. Dasar Hukum
1. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 207/PMK.010/2016.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 49/PJ/2015 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 12 Oktober 2019 inci Pajak Pertambahan Nilai

 

SPT PPN 1111

Anda sebagai pembaca laman pribadi ini mungkin saat ini adalah seorang instruktur atau dosen yang mengampu mata kuliah atau materi perpajakan, khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Sebagai seorang instruktur atau dosen, sudah menjadi kewajaran untuk menyediakan bahan ajar dan bahan latihan guna memberikan pemahaman lebih komprehensif kepada peserta didik atau mahasiswa. Oleh alasan tersebut, tidak ada salahnya apabila saya melampirkan dua jenis file, yaitu :

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 11 Oktober 2019 inci Pajak Pertambahan Nilai

 

SPT PPN 1111 DM

SPT Masa PPN 1111 DM menurut pendapat pribadi masih menyisakan kelemahan-kelemahan dalam perhitungan PPN terutang. Pada Induk SPT PPN 1111 DM, PKP wajib menjumlahkan seluruh penyerahan Barang dan/atau Jasa, baik yang terutang PPN maupun yang tidak terutang PPN. Untuk menghitung PPN Pajak Keluaran, mekanisme perhitungan di SPT adalah mengalikan tarif sebesar 10% dari seluruh jumlah penyerahan Barang dan/atau Jasa yang dapat menyebabkan keanehan karena penyerahan yang tidak terutang PPN seharusnya dikeluarkan dalam perhitungan namun dalam ketentuan tidak difasilitasi ( Lihat PER-45/PJ/2010 s.t.d.d PER-10/PJ/2013).

Anda dapat melihat contoh pengisian SPT PPN 1111 DM pada Link ini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 10 Oktober 2019 inci Pajak Pertambahan Nilai

 

PELAPORAN PPN TERUTANG

A. Mekanisme Umum Pelaporan Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP, Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1b) Undang-Undang KUP, Penandatanganan Surat Pemberitahuan dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang KUP, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. Surat kuasa khusus ini harus dibuat untuk SPT Masa PPN dari satu masa pajak.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang KUP, penyampaian SPT dapat dilakukan Wajib Pajak melalui :
1. Penyampaian langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dan atas penyampaian tersebut harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan,
2. Penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau
Tanda bukti pengiriman surat dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
3. Dengan cara lain, dilakukan melalui :
a. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
b. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, meliputi :
1) laman Direktorat Jenderal Pajak;
2) laman penyalur SPT elektronik;
3) saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu;
4) jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan
5) saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu diberikan bukti penerimaan elektronik.

Berdasarkan Pasal 15A ayat (1) Undang-Undang PPN, Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Hari libur yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.

Berdasarkan Pasal 15A ayat (2) Undang-Undang PPN, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018, selanjutnya disebut PMK Nomor 243/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK Nomor 9/PMK.03/2018, dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Hari libur yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.

Berdasarkan PMK Nomor 243/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK Nomor 9/PMK.03/2018, terdapat beberapa pengaturan terkait pelaporan SPT Masa PPN :
1. SPT Masa PPN wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik (Pasal 3A ayat 3).
2. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik (Pasal 3A ayat 4).
3. Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik wajib menyampaikan SPT Masa PPN melalui saluran tertentu (Pasal 8 ayat 7).
4. Kewajiban penyampaian SPT melalui saluran tertentu berlaku untuk SPT yang disampaikan sejak bulan April 2018 (Pasal 26A).
5. Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu, namun Wajib Pajak bersangkutan menyampaikan SPT selain melalui saluran tertentu. Terhadap Wajib Pajak tersebut dianggap tidak menyampaikan SPT (Pasal 8 ayat 9 jo ayat 10).
6. Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 10 ayat 7).
7. Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut PPN dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM (Pasal 10 ayat 8 dan 8a).
8. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi (Pasal 11 ayat 2 dan 2a).
9. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi (Pasal 11 ayat 3 dan ayat 4).

B. SPT Masa PPN 1111 DM
SPT Masa PPN 1111 DM wajib diisi oleh setiap PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, meliputi :
1. PKP berdasarkan peredaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) Undang-Undang PPN, atau
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu, diatur sebagai berikut :
a. Pengusaha Kena Pajak yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan adalah Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)
b. Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan apabila memenuhi syarat :
1) mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
2) Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak yang bermaksud menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling lama :
1) pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah);
2) pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
d. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar :
1) 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
2) 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.
e. Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak, yaitu jumlah peredaran usaha.
f. Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan menurut ketentuan ini tidak dapat membebankan Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
g. Dalam hal terjadi retur, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
h. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu yang pengkreditan Pajak Masukannya menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak diperkenankan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.

2. PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) Undang-Undang PPN
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu
a. Kegiatan usaha tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.
b. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran.
c. Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini tidak dapat membebankan Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini walaupun Pengusaha Kena Pajak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (7) Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai.
e. Dalam hal terjadi retur, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

C. SPT Masa PPN 1111
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPn) s.t.d.t.d. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2014
1. SPT Masa PPN 1111 wajib diisi oleh setiap PKP selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
2. Pajak Masukan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikreditkan namun tidak dilakukan pengkreditan oleh PKP, harus dilaporkan dalam Formulir 1111 B3.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Oktober 2019 inci Pajak Pertambahan Nilai