RSS

Arsip Bulanan: Januari 2021

Pengkreditan Faktur Pajak Masukan yang Terlambat Diterima dari Supplier

A. Permasalahan

Bagaimana cara mensikapi Faktur Pajak Masukan yang terlambat diterima dari supplier, semisal: Faktur Pajak Masukan yang bertarikh September 2020 baru diterima pada bulan Januari 2021.

B. Ketentuan Perpajakan

Pasal 9 ayat (9) UU PPN dan Penjelasannya:

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.

Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 02/PJ/2020

Contoh Kasus 3 (huruf E angka 3):
PT B melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajaknya baru diterima oleh PT B pada bulan Juni 2020. PT B telah menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.

C. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dan dasar hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Faktur pajak masukan September 2020 yang terlambat diterima, dapat dikreditkan pada Masa Pajak September 2020 s.d. Desember 2020 sepanjang belum dibebankan sebagai biaya;
  2. Apabila SPT Masa September 2020 s.d. Desember 2020 telah dilaporkan maka Faktur pajak masukan September 2020 yang terlambat diterima tetap dapat dikreditkan melalui pembetulan SPT PPN Masa Pajak September 2020 s.d. Desember 2020
 

PKP Tidak Dapat Melaporkan Pembetulan SPT Masa PPN

A. Permasalahan

PKP tidak dapat melaporkan pembetulan SPT Masa PPN pada saat mengupload csv melalui laman DJPOnline dengan tampilan sebagai berikut:

Tampilan kesalahan pada saat upload csv di DJPOnline

B. Solusi

Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, perlu kita uraikan terlebih dahulu permasalahan sebagai berikut:

  1. Apakah PKP pada Masa Mei termasuk WP Piloting yang menggunakan eFaktur Web Based? Apabila iya maka pembetulan harus menggunkan eFaktur Web Based. Misal: PKP PT A ditetapkan menggunakan eFaktur Web Based mulai Masa Pajak September 2020. Pada saat PKP PT A akan melakukan pembetulan SPT PPN Masa Agustus 2020 maka PKP PT A wajib create csv menggunakan eFaktur Desktop kemudian upload pada laman DJPOnline. Namun pada saat PKP PT A akan melakukan pembetulan SPT PPN Masa September 2020 maka pembetulan menggunakan eFaktur Web Based
  2. Apabila PKP tidak termasuk WP Piloting yang menggunakan eFaktur Web Based maka disarankan PKP untuk clear cache and cookies pada browser, menggunakan private window di Firefox atau menggunakan incognito pada Chrome, dan langkah terakhir refresh dan coba terus…

Saya pernah dan baru berhasil di hari kedua setelah melakukan refresh terus menerus

Semoga bermanfaat

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 30 Januari 2021 inci e-Faktur

 

Pembayaran Bea Meterai dengan SSP dan Pemateraian Kemudian

A. Pembayaran Bea Materai dengan SSP

SSP hanya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:

  1. pembayaran Bea Meterai atas Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen; atau
  2. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai tempel tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
    Dalam hal pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai tempel tidak memungkinkan untuk dilakukan pada saat terutang Bea Meterai yang disebabkan keadaan, pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan SSP oleh Pihak Yang Terutang dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak saat terutang Bea Meterai.

Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan SSP dilakukan dengan:

a. menyetorkan Bea Meterai yang terutang ke kas negara dengan menggunakan formulir SSP atau Kode Billing dengan kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran 100;
b. membuat daftar Dokumen dalam hal pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan SSP dilakukan atas dua atau lebih Dokumen yang terutang Bea Meterai; dan
c. melekatkan SSP sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang telah mendapatkan NTPN dengan Dokumen yang terutang Bea Meterai atau daftar Dokumen.

B. Pemateraian Kemudian

Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk: Dokumen yang terutang Bea Meterai namun tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/atau Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebesar:

a. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
b. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
c. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian dilakukan atas Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Pembayaran Bea Meterai yang terutang melalui pemateraian kemudian dilakukan dengan menggunakan:
a. Meterai tempel; atau
b. SSP sesuai ketentuan.

Pembayaran sanksi administratif dilakukan dengan menggunakan formulir SSP atau Kode Billing dengan kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran 512.

Pemeteraian Kemudian disahkan oleh: Pejabat pos; atau Pejabat lain yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian seperti berikut:


C. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum Dan Ciri Khusus MeteraiTempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29 Januari 2021 inci Bea Materai

 

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi

A. Kewajiban SPT Masa PPh Unifikasi

Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi berbentuk Dokumen Elektronik digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria:

  1. membuat lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dalam 1 (satu) Masa Pajak;
  2. terdapat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dengan nilai dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Masa Pajak;
  3. membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi untuk objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, diskonto SBI, giro, dan transaksi penjualan saham;
  4. telah menyampaikan SPT Masa Elektronik; atau
  5. terdaftar di KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, atau KPP Madya.

Pemotong/Pemungut PPh yang diwajibkan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi yaitu Pemotong/Pemungut PPh yang memenuhi kriteria di atas dan telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal Pemotong/Pemungut PPh yang telah memenuhi kriteria menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi namun menyampaikan SPT Masa PPh tidak menggunakan formulir SPT Masa PPh Unifikasi; dan/atau tidak melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi, SPT Masa PPh tersebut tidak diterima dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT.

Pemotong/Pemungut PPh tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi dalam hal pada suatu Masa Pajak: tidak terdapat objek pemotongan dan/atau pemungutan yang harus diterbitkan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi; dan tidak terdapat pelunasan PPh terutang atas suatu transaksi/kegiatan, yang dilakukan dengan cara penyetoran sendiri.

B. Bukti Potong Unifikasi

Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi terdiri dari:

  1. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar; dan
    Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar terdiri dari: Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, serta PPh Pasal 23; dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26.
  2. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.
    Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi merupakan dokumen yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut PPh untuk melakukan pemotongan PPh atas:
    a. penghasilan berupa bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia dan jasa giro;
    b. penghasilan berupa bunga/diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara; dan
    c. penghasilan dari transaksi penjualan saham yang meliputi saham pendiri, bukan saham pendiri, dan saham milik perusahaan modal ventura.

Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi tetap perlu dibuat dalam hal jumlah PPh yang dipotong/dipungut pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, dalam hal:

  1. jumlah PPh yang dipotong/dipungut nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas;
  2. transaksi dilakukan dengan Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018 yang terkonfirmasi;
    SSP tetap dibuat dalam hal terjadi transaksi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
  3. PPh Pasal 26 dipotong berdasarkan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang ditunjukkan dengan adanya tanda terima Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  4. PPh terutang yang ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
  5. PPh yang dipotong atau dipungut dan/atau disetor sendiri diberikan fasilitas PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

C. Sanksi Administrasi

Dalam hal SPT Masa PPh Unifikasi tidak disampaikan dalam jangka waktu, Pemotong/Pemungut PPh dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP, berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), yang dikenakan sebagai satu kesatuan dan tidak dihitung bagi tiap-tiap jenis PPh.

D. Kewajiban Sertifikat Elektronik

Untuk dapat menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot Unifikasi, Pemotong/Pemungut PPh harus memiliki Sertifikat Elektronik.

E. Dasar Hukum

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 23/PJ/2020 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, Dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi

 

Tag:

Organisasi Internasional Dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan

A. Ketentuan Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional

Organisasi Internasional tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
  2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. bukan warga negara Indonesia; dan
  2. tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Organisasi Internasional yang memenuhi ketentuan tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

B. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.010/2020 tentang Organisasi Internasional Dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 27 Januari 2021 inci Pajak Penghasilan

 

Tag:

Tata Cara Pelunasan Selisih Kurang Bea Meterai Yang Terutang Atas Dokumen Berupa Cek Dan Bilyet Giro

A. Pengantar

Ketentuan ini timbul untuk menjawab pertanyaan peserta saat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Pertanyaan peserta terkait pelunasan Bea Meterai atas Cek dan Bilyet Giro yang sudah dilunasi menggunakan tarif sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 (UU Bea Meterai Lama) namun belum digunakan. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020, Cek dan Bilyet Giro terutang Bea Meterai sebesar Rp10.000,00 sehingga terjadi kekurangan pelunasan Bea Meterai.

B. Dasar Pelunasan

Bea Meterai dikenakan atas Dokumen berupa cek atau bilyet giro dengan tarif tetap sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Saat terutang Bea Meterai yaitu pada saat cek atau bilyet giro selesai dibuat. Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro. Pihak lain yang diperbolehkan untuk membayar Bea Meterai adalah Bank Penyedia atau pembawa cek dan/atau bilyet giro.

Dalam hal cek atau bilyet giro belum selesai dibuat tetapi telah dibubuhi tanda Bea Meterai lunas dengan menggunakan teknologi percetakan dengan tarif Bea Meterai yang lebih kecil daripada Bea Meterai yang seharusnya terutang, maka pihak yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro atau Pihak Lain yaitu Bank Penyedia atau pembawa cek dan/atau bilyet giro, melunasi selisih kurang Bea Meterai yang terutang menggunakan: mesin teraan meterai digital atau SSP.

C. Tata Cara Pelunasan

Mesin Teraan

Pelunasan selisih kurang Bea Meterai dengan menggunakan mesin teraan meterai digital dilakukan dengan membubuhkan teraan Bea Meterai lunas pada cek dan/atau bilyet giro. Pembubuhan teraan Bea Meterai lunas dilakukan oleh pihak yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro; Pihak Lain yaitu Bank Penyedia atau pembawa cek dan/atau bilyet giro; atau pihak lain, yang telah memiliki izin pembubuhan tanda Bea Meterai lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai digital.

Surat Setoran Pajak

Pelunasan selisih kurang Bea Meterai dengan menggunakan SSP dilakukan dengan membayar selisih kurang Bea Meterai ke kas negara dengan menggunakan formulir SSP atau Kode Billing dengan kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran 100. Formulir SSP atau Kode Billing harus memuat keterangan mengenai nomor seri cek dan/atau bilyet giro. Kekurangan Bea Meterai adalah sebesar Rp7.000,00 untuk setiap lembar cek dan/atau bilyet giro. Atas pelunasan selisih kurang Bea Meterai dengan menggunakan SSP, pihak yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro atau Pihak Lain yaitu Bank Penyedia atau pembawa cek dan/atau bilyet giro, meminta cap bukti pelunasan selisih kurang Bea Meterai ke KPP. Permintaan cap bukti pelunasan selisih kurang Bea Meterai dilakukan dengan melampirkan:
a. cek dan/atau bilyet giro yang akan dibubuhi cap bukti pelunasan selisih kurang Bea Meterai; dan
b. SSP yang telah mendapatkan NTPN.
Cap bukti pelunasan selisih kurang Bea Meterai dibubuhkan pada sisi muka cek atau bilyet giro sedemikian rupa sehingga tidak menutupi atau menimpa unsur atau informasi utama yang telah tercantum dalam cek atau bilyet giro, khususnya unsur Magnetic Ink Character Recognition (MICR).

D. Dasar Hukum

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 01/PJ/2021 tentang Tata Cara Pelunasan Selisih Kurang Bea Meterai Yang Terutang Atas Dokumen Berupa Cek Dan Bilyet Giro.
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 01/PJ/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembubuhan Cap Bukti Pelunasan Selisih Kurang Bea Meterai
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26 Januari 2021 inci Bea Materai

 

Trade Confirmation (belum) Terutang Bea Meterai

Pasal 3 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai mengatur bahwa Bea Meterai dikenakan atas Dokumen yang bersifat perdata, meliputi Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Yang dimaksud dengan “Dokumen transaksi surat berharga” antara lain bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di dalam bursa efek berupa trade confirmation.

Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Bea Meterai mengatur bahwa Bea Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen dengan tarif tetap sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Ketentuan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2021.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas perpajakan di Indonesia kemudian memberikan klarifikasi pada tanggal 19 Desember 2020 yang menyatakan sebagai berikut:

Sehubungan dengan beredarnya informasi di masyarakat bahwa mulai 1 Januari 2021 Bea Meterai dikenakan atas Trade Confirmation (TC) sebagai dokumen atas transaksi surat berharga (saham, obligasi, dan lain-lain) tanpa ada batasan nilai, dengan ini disampaikan klarifikasi sebagai berikut:

  1. Saat ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyusun peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang Bea Meterai yang baru (UU Nomor 10 Tahun 2020).
  2. Pengenaan Bea Meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat.
  3. Di samping itu, dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan, dapat diberikan fasilitas pembebasan Bea Meterai.
  4. DJP sedang berkoordinasi dengan otoritas moneter dan pelaku usaha untuk merumuskan kebijakan tersebut.

Demikian disampaikan untuk dipahami sambil menunggu peraturan pelaksanaan UU Bea Meterai tersebut diterbitkan.

Dari ketentuan dan klarifikasi dari DJP, menurut pendapat pribadi Kami, alangkah baiknya DJP dalam menunda suatu pelaksanaan UU menggunakan dasar hukum dan tidak hanya klarifikasi yang dimuat dalam laman DJP saja.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 25 Januari 2021 inci Bea Materai

 

Pengurangan Denda Administrasi PBB

A. Objek

Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak dapat mengurangkan denda administrasi PBB dalam: denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) yang dihitung dari pokok pajak yang tercantum pada SKP PBB; atau denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang tercantum pada STP PBB karena hal-hal tertentu berupa: kealpaan Wajib Pajak; bukan kesalahan Wajib Pajak; Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas; terjadi bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya sehingga Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya; atau hal-hal lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

Kesulitan likuiditas merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha. Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor. Kejadian luar biasa antara lain kebakaran, huru-hara, atau kerusuhan.

B. Syarat Pengajuan Permintaan

Pengurangan denda administrasi PBB diajukan dengan menyampaikan permintaan pengurangan denda administrasi PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dengan syarat:
a. (satu) permintaan untuk 1 (satu) SKP PBB atau STP PBB;
b. permintaan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. mengemukakan besarnya denda administrasi PBB yang dimintakan pengurangan dengan disertai alasan;
d. Wajib Pajak telah melunasi PBB yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan denda administrasi yang tercantum dalam SKP PBB atau STP PBB; dan
e. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat permintaan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permintaan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Permintaan pengurangan denda administrasi PBB yang tercantum dalam SKP PBB dapat diajukan sepanjang SKP PBB tersebut:
a. tidak diajukan keberatan;
b. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
c. diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
d. tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB atau diajukan permohonan pengurangan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
e. tidak diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan; atau
f. tidak diajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pembatalan tetapi dianggap bukan sebagai permohonan.
Ketentuan tambahan ini tidak berlaku dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau kejadian luar biasa.

Permintaan pengurangan denda administrasi PBB yang tercantum dalam STP PBB dapat diajukan sepanjang:
a. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan keberatan;
b. SPPT atau SKP PBB diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
c. SPPT atau SKP PBB diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
d. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB atau diajukan permohonan pengurangan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
e. SKP PBB tidak diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB atau diajukan permintaan pengurangan denda administrasi PBB atas SKP PBB tetapi dianggap bukan sebagai permintaan;
f. SPPT atau SKP PBB tidak diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan; atau
g. SPPT, SKP PBB atau STP PBB tidak diajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar atau diajukan permohonan pembatalan tetapi dianggap bukan sebagai permohonan.

C. Proses Permintaan Pengurangan Sanksi Administrasi PBB

Surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB disampaikan dengan cara: langsung; dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat secara tercatat; atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB diterima. Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB, permintaan yang diajukan dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB sesuai dengan permintaan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.

D. Pencabutan Permintaan Pengurangan Sanksi Administrasi PBB

Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB sebelum surat keputusan pengurangan denda administrasi PBB diterbitkan. Pencabutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP; dan
c. ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB, Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permintaan pengurangan denda administrasi PBB untuk SKP PBB atau STP PBB yang sama.

E. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.03/2017 tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Yang Tidak Benar

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24 Januari 2021 inci Pajak Bumi dan Bangunan

 

Keberatan PBB

A. Objek Keberatan

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak hanya terhadap materi atas suatu SPPT atau SKP PBB.

B. Syarat Pengajuan Keberatan

Surat Keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. satu Surat Keberatan untuk satu SPPT atau SKP PBB;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui KPP;
d. dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB yang diajukan keberatan;
e. dikemukakan jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak dan disertai dengan alasan pengajuan keberatan;
f. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya dengan disertai bukti pendukung;
Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak meliputi: bencana alam; kebakaran; huru-hara/kerusuhan massal; diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT atau SKP PBB berubah; atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
g. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
h. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan: 1) pengurangan atau pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar; 2) pengurangan PBB; atau 3) pengurangan denda administrasi PBB.

Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf g, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud huruf f terlampaui.

Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak. Surat Keberatan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dapat dilakukan: secara langsung; melalui pos; atau melalui jasa pengiriman.

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB yang terutang.

C. Penyelesaian Permohonan Keberatan

Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan dan/atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian SPUH yang dilampiri dengan: daftar hasil penelitian keberatan; dan formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan. Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan hak untuk hadir, dibuat berita acara ketidakhadiran dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak. Daftar hasil penelitian keberatan tidak bersifat final dan bukan merupakan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB terutang yang dituangkan dalam Surat Keputusan Keberatan. Apabila jangka waktu telah terlampaui dan keputusan atas keberatan belum diterbitkan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap diterima dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menerima keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.

D. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2016.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 23 Januari 2021 inci Pajak Bumi dan Bangunan

 

Surat Tagihan Pajak PBB

A. Dasar Penerbitan STP PBB

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB dalam hal terdapat PBB terutang dalam SPPT atau SKP PBB yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.

STP PBB dapat diterbitkan dengan ketentuan:

1. STP PBB diterbitkan setelah saat jatuh tempo SPPT atau SKP PBB terlewati; dan/atau
STP PBB memuat PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar ditambah dengan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal diterbitkannya STP PBB

2. STP PBB diterbitkan setelah terjadi pelunasan pembayaran atas pokok PBB terutang.
STP PBB memuat denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dari PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar yang dihitung dari saat jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal pelunasan pembayaran atas pokok PBB terutang, dalam hal belum pernah diterbitkan STP PBB; atau saat jatuh tempo STP PBB sampai dengan tanggal pelunasan pembayaran atas pokok PBB terutang, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

B. Daluarsa, Jangka Waktu Pembayaran dan Kedudukan STP PBB

STP PBB diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya tahun pajak.

Jumlah PBB yang terutang dalam STP PBB harus dilunasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak. Tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak adalah: tanggal tanda terima, dalam hal STP PBB disampaikan secara langsung; atau tanggal bukti pengiriman, dalam hal STP PBB dikirim melalui pos atau jasa pengiriman lainnya.

Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan STP PBB yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

C. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 78/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Januari 2021 inci Pajak Bumi dan Bangunan