RSS

Arsip Tag: Hukum Perjanjian

PEMBERIAN KUASA (Bag 4 dari 4)

Bagian Ketiga

Berakhirnya Pemberian Kuasa

Pasal 1813

”Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”

Pasal 1813 KUH Perdata mengatur bahwa pemberian kuasa berakhir karena beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
a. Ditariknya kembali pemberian kuasa oleh pemberi kuasa;
b. Pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa;
c. Meninggalnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa;
d. Pemberi kuasa atau penerima kuasa berada di bawah pengampuan;
e. Pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
f. Kawinnya perempuan pemberi kuasa atau penerima kuasa (Khusus hal ini sekarang tidak diberlakukan lagi karena perempuan yang telah kawin dianggap cakap melakukan perbuatan hukum).

Pasal 1814

“Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.”

Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya secara sepihak bahkan jika ada alasan untuk itu, pemberi kuasa berhak memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa yang telah diberikan kepadanya.

Pasal 1815

Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu1 hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dan pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.”

Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa berupa pemberitahuan kepada penerima kuasa tidak dapat dijadikan alasan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui penarikan kuasa tersebut sehingga mengadakan perjanjian dengan penerima kuasa yang kuasanya telah ditarik namun pemberi kuasa tetap dapat menuntut penerima kuasa yang kuasanya telah ditarik tersebut.

Pasal 1816

“Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan.”

Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama dengan penerima kuasa sebelumnya berarti pemberian kuasa yang pertama dianggap ditarik kembali terhitung sejak diberitahukannya pengangkatan baru tersebut kepada penerima kuasa lama.

Pasal 1817

“Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian kepada pemberi kuasa.
Akan tetapi bila pemberitahuan penghentian ini, baik karena Ia tidak mengindahkan waktu maupun karena sesuatu hal lain akibat kesalahan pemegang kuasa sendiri, membawa kerugian bagi pemberi kuasa, maka pemberi kuasa ini harus diberikan ganti rugi oleh pemegang kuasa itu kecuali bila pemegang kuasa itu tak mampu untuk meneruskan kuasanya tanpa mendatangkan kerugian yang berarti bagi dirinya sendiri.”

Salah satu sebab berakhirnya perjanjian pemberian kuasa adalah penerima kuasa membebaskan diri dari kuasa yang diberikan kepadanya dengan cara memberitahukan penghentiannya kepada pemberi kuasa atau dengan pemberitahuan pengunduran dirinya kepada pemberi kuasa. Pemberitahuan pengunduran diri dari penerima kuasa harus mempertimbangkan waktu yang wajar bagi pemberi kuasa untuk mencari pengganti karena hal ini akan membawa kerugian bagi pemberi kuasa yang menyebabkan penerima kuasa harus membayar ganti rugi kepada penerima kuasa. Pembayaran ganti rugi tidak harus diberikan jika penerima kuasa dalam keadaan tidak mampu meneruskan kuasanya.

Pasal 1818

“Jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa itu, maka perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tidak tahu itu adalah sah.
Dalam hal demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.”

Dengan meninggalnya pemberi kuasa menyebabkan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa. Apabila penerima kuasa tidak mengetahui bahwa pemberi kuasa telah meninggal dunia atau tidak mengetahui sesuatu hal lain yang menyebabkan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa maka tindakan yang dilakukan dalam statusnya sebagai penerima kuasa tetap sah. Dengan demikian semua perikatan yang dibuat penerima kuasa dengan pihak ketiga atas nama pemberi kuasa maka perikatan itu harus dipenuhi asal pihak ketiga beritikad baik.

Pasal 1819

“Bila pemegang kuasa meninggal dunia, maka para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa jika mereka tahu pemberian kuasa itu, dan sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaan bagi kepentingan pemberi kuasa, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.”

Apabila penerima kuasa meninggal dunia maka para ahli waris yang mengetahui tentang pemberian kuasa tersebut harus memberitahukan kepada pemberi kuasa tentang meninggalnya penerima kuasa. Para ahli waris juga perlu mengambil tindakan yang diperlukan berdasarkan keadaan, bagi kepentingan pemberi kuasa. Bahkan para ahli wris dapat diwajibkan membayar ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga kepada pemberi kuasa jika ada alasan untuk itu.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 13 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PEMBERIAN KUASA (Bag 3 dari 4)

Bagian Ketiga

Kewajiban Pemberi Kuasa

Pasal 1807

“Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah ía berikan kepadanya.
Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu kecuali jika ía telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.”

Kewajiban pertama pemberi kuasa adalah memenuhi perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa atas nama pemberi kuasa sepanjang perikatan tersebut masih berada dalam batas kuasa yang diberikan kepadanya. Akan tetapi, jika penerima kuasa melakukan perikatan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya maka terikat jika pemberi kuasa menyetujui secara tegas atau secara diam-diam

Pasal 1808

“Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian. Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi kuasa tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot dan biaya serta membayar upah tersebut di atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya itu.”

Kewajiban kedua pemberi kuasa adalah mengembalikan persekot (panjar) dan biaya yang dikeluarkan penerima kuasa dalam melaksanakan kuasanya. Di samping itu pula pemberi kuasa berkewajiban membayar upah jika dalam perjanjian kuasa diperjanjikan upah. Kewajiban pemberi kuasa untuk membayar persekot, biaya, dan upah tetap harus dipenuhi walaupun urusan penerima kuasa tidak berhasil kecuali ketidakberhasilannya terjadi karena kelalaian sendiri.

Pasal 1809

“Begitu pula pemberi kuasa harus memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.”

Kewajiban ketiga pemberi kuasa adalah membayar ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dialaminya ketika menjalankan kuasanya kecuali kerugian yang diakibatkan karena kurang hati-hatinya penerima kuasa sendiri.

Pasal 1810

“Pemberi kuasa harus membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.”

Kewajiban keempat pemberi kuasa adalah membayar bunga atas persekot yang dikeluarkan terhitung sejak persekot itu dikeluarkan penerima kuasa.

Pasal 1811

“Jika seorang penerima kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama, maka masing-masing dari mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa itu.”

Apabila penerima kuasa menerima kuasa dari beberapa orang pemberi kuasa untuk mengurus urusan bersama para pemberi kuasa tersebut maka masing-masing pemberi kuasa bertanggung jawab secara tanggung menanggung (masing-masing bertanggungjawab untuk seluruhnya) terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa tersebut

Pasal 1812

“Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.”

Penerima kuasa memiliki hak retensi, yakni berhak menahan barang-barang milik pemberi kuasa yang berada di tangannya sampai pemberi kuasa membayar lunas semua tuntutan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian pemberian kuasa.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 11 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PEMBERIAN KUASA (Bag 2 dari 4)

Bagian Kedua

Kewajiban si Kuasa

Pasal 1800

“Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu.
Begitu pula ia wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.”

Kewajiban utama dari penerima kuasa adalah melaksanakan kuasa yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini penerima kuasa menanggung kerugian atau berkewajiban mengganti kerugian yang terdiri atas biaya, rugi, dan bunga jika timbul kerugian karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Walaupun perjanjian pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak namun apabila penerima kuasa telah mulai mengerjakan sesuatu urusan sebelum meninggalnya pemberi kuasa dan menimbulkan kerugian jika tidak dilanjutkan maka penerima kuasa tetap berkewajiban menyelesaikan urusan tersebut

Pasal 1801

“Penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima kuasa dengan mendapatkan upah.”

Penerima kuasa bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan, baik sengaja maupun karena kelalaiannya. Tanggung jawab penerima kuasa atas kelalaian yang dilakukan lebih ringan jika pemberian kuasa dengan gratis dibandingkan yang dilakukan dengan memperjanjikan upah

Pasal 1802

“Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi kuasa.”

Salah satu kewajiban yang penting bagi penerima kuasa adalah memberikan laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang dilakukan terkait dengan kuasa yang diberikan kepadanya. Disamping itu wajib memberikan perhitungan tentang apa yang diterima dalam menjalankan kuasa yang diberikan kepadanya, tidak dibayarkan kepada pemberi kuasa

Pasal 1803

“Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
1. bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2. bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.”

Penerima kuasa bertanggungjawab atas penerima kuasa yang ditunjuknya untuk menggantikan dirinya, jika;
a. Penerima kuasa tersebut tidak diberi kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya. Dengan kata lain kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa bukan kuasa substitusi.
b. Penerima kuasa diberikan kuasa untuk menunjuk penggantinya (kuasa substitusi) tetapi dalam perjanjian pemberian kuasa tidak disebutkan siapa yang akan ditunjuk menggantikannya ternyata penerima kuasa menunjuk orang tidak cakap atau tidak mampu.

Pemberian kuasa subtitusi diberikan kepada penerima kuasa dalam hal yang diurus adalah benda-benda yang berada di luar negeri atau di luar pulau yang ditempati oleh pemberi kuasa. Oleh karena penerima kuasa yang menggantikan penerima kuasa pertama juga mewakili kepentingan pemberi kuasa maka pemberi kuasa juga secara langsung dapat menuntut penerima kuasa pengganti tersebut.

Pasal 1804

“Bila dalam satu akta diangkat beberapa penerima kuasa untuk suatu urusan, maka terhadap mereka tidak terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung kecuali jika hal itu ditentukan dengan tegas dalam akta.”

Apabila dalam perjanjian pemberian kuasa ditunjuk beberapa orang penerima kuasa untuk mengurus hal yang sama maka para penerima kuasa tersebut tidak bertanggung jawab secara tanggung menanggung kecuali diperjanjikan dengan tegas bertanggung jawab secara tanggung menanggung

Pasal 1805

“Penerima kuasa harus membayar bunga atau uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.”

Apabila dalam perjanjian pemberian kuasa, penerima kuasa memakai uang pokok yang dipercayakan kepadanya maka berkewajiban membayar bunga atas uang yang dipakainya itu, terhitung saat mulai dipakainya. Demikian pula terhadap uang yang harus diserahkannya kepada pemberi kuasa pada saat penutupan perhitungan (akan diakhirinya pemberian kuasa) dan perhitungan bunganya dimulai pada saat penerima kuasa dinyatakan lalai menyerahkan uang tersebut

Pasal 1806

Penerima kuasa yang telah memberitahukan secara sah hal kuasanya kepada orang yang dengannya ia mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukan sebagai penerima kuasa, tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali jika ía secara pribadi mengikatkan diri untuk itu.”

Penerima kuasa yang memberitahukan secara sah pemberian kuasa kepadanya dari pemberi kuasa kepada pihak dengan siapa penerima kuasa melakukan suatu perjanjian dalam kedudukannya sebagai penerima kuasa maka penerima kuasa tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul di luar batas kuasa yang diberikan kepadanya kecuali secara pribadi mengikatkan dirinya untuk hal tersebut

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian



 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 9 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PEMBERIAN KUASA (Bag 1 dari 4)

Pemberian kuasa merupakan perjanjian yang objeknya jasa penerima kuasa untuk mewakili urusan pemberi kuasa, baik segala urusan atau urusan tertentu secara khusus. Pemberian kuasa dibagi menjadi dua, yaitu kuasa umum meliputi kegiatan mengurus dan kuasa khusus yang berkaitan dengan pemindahan hak, penjaminan dan perbuatan lain yang dilakukan oleh pemilik.

Pemberian kuasa merupakan perjanjian cuma-cuma, dalam arti perjanjian ini secara hukum adalah gratis, yakni penerima kuasa tidak diberikan imbalan kecuali diperjanjikan imbalan oleh para pihak.

Pemberian kuasa dilakukan secara lisan, tertulis dibawah tangan atau autentik, bahkan diam-diam. Dalam perjanjian pemberian kuasa diberikan hak kepada penerima kuasa untuk menunjuk kuasa lain (kuasa substitusi) untuk mengerjakan pekerjaan yang dikuasakan kepadanya, baik pilihannya sendiri atau pilihan pemberi kuasa. Artinya pemberi kuasa dapat menentukan bahwa apabila akan mengalihkan kuasanya kepada orang lain maka diberikan kepada orang yang telah ditentukan oleh pemberi kuasa.

Berbeda dari perjanjian pada umumnya yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, pemberian kuasa dapat ditarik secara sepihak dan penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan syarat tertentu yang diatur dalam pasal-pasal tentang pemberian kuasa.

Bagian Kesatu

Sifat Pemberian Kuasa

Pasal 1792

“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”

Pemberian kuasa merupakan perjanjian dimana seseorang menyerahkan urusannya kepada orang lain yang menerimanya. Dalam perjanjian ini orang yang menerima kuasa bertindak untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa

Pasal 1793

“Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.”

Perjanjian pemberian kuasa dilakukan dalam berbagai bentuk, baik akta autentik, akta di bawah tangan, surat biasa dan secara lisan. Bahkan penerimaan kuasa dapat secara diam-diam dalam arti kuasa melaksanakan tindakan yang diinginkan pemberi kuasa maka penerima kuasa secara diam-diam menerima kuasa tersebut

Pasal 1794

“Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.”

Apabila tidak diperjanjikan para pihak maka pemberian kuasa dilakukan secara cuma-cuma. Namun dalam perjanjian dicantumkan aanya upah yang tidak ditentukan dengan tegas maka upahnya tidak melebihi yang ditentukan untuk Wali sebagaimana diatur dalam Pasal 411 KUH Perdata

Pasal 1795

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.”

Secara umum pemberian kuasa terbagi dua, yaitu kuasa khusus dan kuasa umum. Dalam hal ini, kuasa khusus mewakili satu atau lebih kepentingan pemberi kuasa sedangkan dalam kuasa umum penerima kuasa mewakili pemberi kuasa untuk segala kepentingan

Pasal 1796

“Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.”

Kuasa umum meliputi perbuatan pengurusan sedangkan memindahtangankan barang-barang, menjaminkan dengan hipotek, membuat perdamaian, atau perbuatan lain yang dilakukan oleh pemilik maka diperlukan pemberian kuasa khusus. Dalam pemberian kuasa tersebut digunakan kata-kata tegas apa-apa yang dikuasakan kepada penerima kuasa

Pasal 1797

“Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.”

Penerima kuasa dilarang melakukan sesuatu yang melampaui kuasanya. Dalam hal penerima kuasa diberikan kuasa melakukan perdamaian, tidak bisa ditafsikan juga diberi kuasa untuk menyerahkan perkara pada putusan arbitrase

Pasal 1798

“Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V dan VII Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.”

Pemberian kuasa kepada penerima kuasa yang tidak cakap secara hukum, konsekuensinya ditanggung pemberi kuasa, hal ini berlaku ketentuan dalam hukum perjanjian. Demikian pula terhadap pemberian kuasa terhadap perempuan bersuami, pemberi kuasa tidak memiliki tuntutan hukum, kecuali sesuai yang diatur Buku I BW mengenai hak dan kewajiban suami istri dan perjanjian kawin

Pasal 1799

“Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.”

Sebagai orang yang berkepentingan dan diwakili kepentingannya oleh penerima kuasa, maka pemberi kuasa dapat menuntut secara langsung kepada pihak dengan siapa penerima kuasa bertindak atas nama pemberi kuasa. Dengan demikian penerima kuasa membuat perjanjian dengan pihak lain maka pemberi kuasa dapat menuntut pemenuhan perjanjian kepada pihak lain. Sebagai contoh: Andri memberi kuasa kepada Budiman untuk menjualkan mobilnya dan kemudian mobil tersebut dibeli oleh Luthfi dengan janji harganya dibayar satu bulan setelah mobilnya diserahkan. Apabila Luthfi belum membayar sampai lewat waktu yang dijanjikan, yakni satu bulan, maka Andri dapat menagih secara langsung harga mobil tersebut kepada Lutfi.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 8 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PENANGGUNGAN UTANG (Bag 4 dari 4)

Bagian Keempat

tentang Hapusnya Penanggungan Utang

Pasal 1845

“Perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan Iainnya.”

Penyebab hapusnya perikatan yang lahir dari perjanjian penanggungan sama dengan penyebab hapusnya perikatan lainnya.

Pasal 1846

“Percampuran utang yang terjadi di antara debitur utama dan penanggung utang, bila yang satu menjadi ahli waris dari yang lain, sekali-kali tidak menggugurkan tuntutan hukum kreditur terhadap orang yang telah mengajukan diri sebagai penanggung dari penanggung itu.”

Apabila terjadi percampuran antara pribadi debitur dan pribadi penanggung tidak menghapuskan hak kreditur untuk menuntut kepada orang yang telah mengajukan diri sebagai penanggungnya penanggung.

Pasal 1847

“Terhadap kreditur itu, penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri.
Akan tetapi, ia tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai pribadi debitur itu.”

Penanggung dapat menggunakan segala tangkisan yang digunakan debitur kepada kreditur dan juga tangkisan berdasarkan undang-undang mengenai utang yang ditanggung namun penanggung tidak dapat mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai pribadi debitur sebagai subjek hukum.

Pasal 1848

“Penanggung dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditur ía tidak dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditur itu sebagai penggantinya.”

Penanggung dibebaskan jika tidak dapat lagi menggunakan hak-hak hipoteknya dan hak istimewa dari kreditur tersebut yang diakibatkan oleh kesalahan kreditur.

Pasal 1849

“Bila kreditur secara sukarela menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran utang pokok, maka penanggung dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan Hakim untuk kepentingan pembayaran utang tersebut.”

Apabila kreditur secara sukarela menerima benda tidak bergerak maupun benda lain sebagai pembayaran atas utang pokok. Hal itu menyebabkan dibebaskan penanggung walaupun kemudian berdasarkan putusan hakim benda tersebut harus diserahkan oleh kreditur kepada orang lain.

Pasal 1850

“Suatu penundaan pembayaran sederhana yang diizinkan kreditur kepada debitur tidak membebaskan penanggung dari tanggungannya; tetapi dalam hal demikian, penanggung dapat memaksa debitur untuk membayar utangnya atau membebaskan penanggung dari tanggungannya itu.”

Jika terjadi penundaan pembayaran yang diberikan kreditur kepada debitur, tidak membebaskan penanggung utang namun penanggung dapat menuntut debitur dengan memaksanya untuk membayar atau membebaskan penanggung dari penanggungannya.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 7 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PENANGGUNGAN UTANG (Bag 3 dari 4)

Bagian Ketiga

tentang Akibat Penanggungan antara si Berutang dan si Penanggung dan antara Para Penanggung Sendiri

Pasal 1839

“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.
Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnya kembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan pemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya.
Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.”

Penanggung yang telah membayar utang debitur kepada kreditur, untuk membayar kepadanya apa yang telah dibayarkan kepada kreditur, tuntutan itu meliputi utang pokok, bunga maupun biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Tuntutan tentang biaya yang telah dikeluarkan oleh penanggung dapat dilakukan terhadap debitur jika tuntutan tersebut disampaikan kepada debitur dalam waktu yang patut. Disamping tuntutan tersebut, penanggung juga dapat menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, jika ada alasan untuk itu.

Pasal 1840

“Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum, menggantikan kreditur dengan segala haknya terhadap debitur semula.”

Penanggung yang telah membayar utang debitur kepada debitur secara hukum menggantikan kedudukan kreditur kepada debitur atau dengan kata lain terjadi subrogasi secara hukum.

Pasal 1841

“Bila beberapa orang bersama-sama memikul satu utang utama dan masing-masing terikat untuk seluruh utang utama tersebut, maka orang yang mengajukan diri sebagai penanggung untuk mereka semuanya, dapat menuntut kembali semua yang telah dibayarnya dari masing-masing debitur tersebut.”

Apabila terdapat beberapa orang debitur yang terikat untuk satu utang yang sama, maka para debitur terikat secara tanggung menanggung, yaitu masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh utang. Jika seorang penanggung yang menanggung semua debitur maka penanggung dapat menuntut apa yang telah dibayarnya dari masing-masing debitur untuk seluruh utang.

Pasal 1842

“Penanggung yang telah membayar utangnya sekali, tidak dapat menuntutnya kembali dari debitur utama yang telah membayar untuk kedua kalinya bila ia tidak memberitahukan pembayaran yang telah dilakukan itu kepadanya, hal ini tidak mengurangi haknya untuk menuntutnya kembali dari kreditur.
Jika penanggung telah membayar tanpa digugat untuk itu sedangkan ia tidak memberitahukannya kepada debitur utama, maka ia tidak dapat menuntutnya kembali dari debitur utama ini bila pada waktu dilakukannya pembayaran itu debitur mempunyai alasan-alasan untuk menuntut pembatalan utangnya; hal ini tidak mengurangi tuntutan penanggung terhadap kreditur.”

Apabila penanggung yang telah membayar utang debitur kepada kreditur tanpa memberitahukan kepada debitur tentang pembayaran tersebut dan debitur juga membayar untuk kedua kalinya maka penanggung tidak dapat menuntut kepada debitur untuk membayar kepadanya atas pembayaran yang telah dilakukannya kepada kreditur namun penanggung dapat menuntut pengembalian pembayarannya dari kreditur.

Demikian pula jika penanggung telah membayar utang debitur kepada kreditur sebelum dia digugat untuk itu dan tidak memberitahukannya kepada debitur maka penanggung tidak dapat menuntut dari debitur jika pada saat dilakukannya pembayaran, debitur mempunyai alasan untuk dibatalkannya utang tersebut namun penanggung tetap dapat menuntut pengembalian pembayaran tersebut dari kreditur.

Pasal 1843

“Penanggung dapat menuntut debitur untuk diberi ganti rugi atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar utangnya:
1. bila ia digugat di muka Hakim untuk membayar;
2. dihapus dengan S. 1906 – 348;
3. bila debitur telah berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada waktu tertentu;
4.bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya;
5. setelah lewat waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, hingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat suatu waktu tertentu, seperti suatu perwalian.”

Penanggung dapat menuntut debitur untuk membayar ganti kerugian atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahka sebelum ia membayar utangnya sesuai ketentuan dalam pasal ini.

Pasal 1844

“Jika berbagai orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang sama, maka penanggung yang telah melunasi utangnya dalam hal yang ditentukan dalam nomor 10 pasal yang lalu, begitu pula bila debitur telah dinyatakan pailit, berhak menuntutnya kembali dari penanggung-penanggung lainnya, masing-masing untuk bagiannya.
Ketentuan alinea kedua dari Pasal 1293 berlaku dalam hal ini.”

Jika debitur dinyatakan pailit maka penanggung berhak untuk menuntut kembali dari penanggung lainnya, masing-masing untuk bagiannya. Dalam hal ini berlaku Pasal 1239 ayat (2) BW yakni jika salah satu diantara penanggung tidak mampu membayar, maka kerugian akibat ketidakmampuan itu harus dipikul bersama oleh para penanggung lainnya dan penanggung yang telah melunasi utangnya, menurut besarnya bagian masing-masing.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 6 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PENANGGUNGAN UTANG (Bag 2 dari 4)

Bagian Kedua

tentang Akibat Penanggungan antara si Berutang dan si Penanggung

Pasal 1831

“Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.”

Penanggung tidak diwajibkan membayar kepada kreditur kecuali jika debitur lalai demikian pula barang-barang debitur harus lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hak ini merupakan hak istimewa dari kreditor.

Pasal 1832

“Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
2. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung menanggung, dalam hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
3. jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
4. jika debitur berada keadaan pailit;
5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.”

Sebagai pengecualian dari hak istimewa penanggung untuk meminta disita dan dijualnya barang-barang debitur lebih dulu adalah:
1. Apabila penanggung sudah melepaskan hak istimewanya tersebut;
2.Apabila penanggung bersama-sama dengan debitur telah mengikatkan dirinya secara tanggung-menanggung sehingga berlaku asas dan ketentuan tentang utang tanggung-menanggung;
3. Apabila debitur dapat mengajukan tangkisan yang hanya berlaku untuk dirinya sendiri;
4. Apabila debitur berada dalam keadaan pailit;
5. Apabila penanggungan tersebut atas perintah hakim.

Pasal 1833

“Kreditur tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitur, kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut di muka Hakim, penanggung mengajukan permohonan untuk itu”

Hak istimewa dari penanggung untuk meminta agar harta debitur disita lebih dulu jika hal itu diminta oleh penanggung ada waktu pertama kali dituntut di muka hakim. Apabila hal itu tidak dilakukan oleh penanggung maka kreditor tidak diwajibkan menyita dan menjual barang-barang milik debitur lebih dahulu untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur.

Pasal 1834

“Penanggung yang menuntut agar barang kepunyaan debitur disita dan dijual lebih dahulu wajib menunjukkan barang kepunyaan debitur itu kepada kreditur dan membayar lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut.
Penanggung tidak boleh menunjuk barang yang sedang dalam sengketa di hadapan Pengadilan, atau barang yang sudah dijadikan tanggungan hipotek untuk utang yang bersangkutan dan sudah tidak lagi berada di tangan debitur itu, ataupun barang yang berada di luar wilayah Indonesia.”

Apabila penanggung meminta agar barang-barang debitur disita dan dijual lebih dahulu untuk melunasi utang-utangnya, maka penanggung wajib menunjukkan kepada kreditor barang-barang milik debitur. Penanggung juga berkewajiban membayar lebih dulu biaya-biaya yang diperlukan untuk melakukan penyitaan dan penjualan barang milik debitur tersebut.

Walaupun demikian, penanggung tidak boleh menunjuk milik debitur yang berupa:
a. Barang yang sedang menjadi objek sengketa di pengadilan;
b. Barang yang sudah dihipotekkan untuk utang yang bersangkutan;
c. Barang yang sudah tidak ada di tangan debitur;
d. Barang-barang milik debitur yang berada di luar wilayah Republik Indonesia

Pasal 1835

“Bila penanggung sesuai dengan pasal yang lalu telah menunjuk barang-barang debitur dan telah membayar biaya yang diperlukan untuk penyitaan dan penjualan, maka kreditur bertanggung jawab terhadap penanggung atas ketidakmampuan debitur yang terjadi kemudian dengan tiadanya tuntutan-tuntutan, sampai sejumlah harga barang-barang yang ditunjuk itu.”

Apabila penanggung telah menunjukkan barang-barang milik debitur yang akan disita dan dijual dan penanggung juga telah membayar lebih dulu biaya-biaya yang diperlukan untuk melakukan penyitaan dan penjualan tersebut maka kreditur bertanggung jawab terhadap penanggung hingga sejumlah harga benda-benda yang ditunjuk itu, tentang ketidakmampuan debitur yang dengan tidak adanya tuntutan-tuntutan, terjadi sesudah itu.

Pasal 1836

“Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang debitur yang sama dan untuk utang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh utang itu.”

Apabila untuk menanggung satu utang yang sama untuk satu debitur yang sama terdapat beberapa penanggung maka masing-masing penanggung terikat secara tanggung menanggung untuk seluruh utang tersebut.

Pasal 1837

“Akan tetapi masing-masing dari mereka, bila tidak melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemisahan utangnya, pada waktu pertama kali digugat di muka Hakim, dapat menuntut supaya kreditur lebih dulu membagi piutangnya, dan menguranginya sebatas bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah.
Jika pada waktu salah satu penanggung menuntut pemisahan utangnya, seorang atau beberapa teman penanggung tak mampu, maka penanggung tersebut wajib membayar utang mereka yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya; tetapi ia tidak wajib bertanggung jawab jika ketidakmampuan mereka terjadi setelah pemisahan utangnya.”

Apabila para penangggung tidak melepaskan hak istimewanya ketika pertama kali digugat di pengadilan untuk meminta pemecahan utangnya dapat menuntut kreditur terlebih dahulu membagi piutangnya dan menguranginya hingga bagian masing-masing penanggung yang terikat secara sah. Dengan demikian, masing-masing penanggung hanya bertanggung jawab untuk sebagian utang namun jika sebagian penanggung tidak mampu maka penanggung yang mampu menanggung (diwajibkan membayar) untuk bagian penanggung yang tidak mampu menurut imbangannya namun penanggung yang mampu ini tidak bertanggungjawab untuk membayar kewajiban penanggung yang tidak mampu jika ketidakmampuan itu terjadi setelah pemecahan utangnya.

Pasal 1838

“Jika kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh menarik kembali pemisahan utang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung berada dalam keadaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi utang itu.”

Apabila kreditur sendiri telah membagi-bagi tuntutannya kepada masing-masing penanggung utang, maka kreditur tidak dapat menarik kembali pemecahan utang itu, walaupun sebagian di antara penanggung tidak mampu sebelum pembagian tuntutan utangnya.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 4 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PENANGGUNGAN UTANG (Bag 1 dari 4)

Penanggungan utang merupakan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga dalam suatu perjanjian. Dalam arti satu pihak melibatkan diri untuk menjamin/menanggung seorang debitur dalam suatu perjanjian, bahkan dapat pula menjadi penjamin/penanggung atas penanggung.

Perjanjian penanggungan melibatkan penanggung dalam suatu perjanjian pokok antara kreditor dan debitur, dalam arti apabila debitur tidak mampu memenuhi prestasinya terhadap kreditur maka penanggunglah yang akan memenuhi. Penanggung dapat melibatkan diri walaupun tidak diminta untuk itu. Hanya saja penanggungan utang ini harus dinyatakan secara tegas, dalam arti tidak boleh hanya dipersangkakan.

Penanggungan ini kurang dikenal dalam masyarakat karena yang banyak dilakukan adalah jaminan kebendaan baik berupa gadai, fidusia, maupun hak tanggungan dan untuk masyarakat tertentu masih mengenal hipotek.

Bagian Kesatu

tentang Sifat Penanggungan

Pasal 1820

“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”

Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dimana untuk kepentingan kreditur, pihak ketiga melibatkan diri dalam perjanjian yang dilakukan oleh debitur dan kreditur. Dalam hal ini pihak ketiga ini mengikatkan diri atau berjanji untuk membayar utang debitur apabila debitur tidak mampu membayar utangnya.

Pasal 1821

“Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut undang-undang. Akan tetapi orang dapat mengadakan penanggungan dalam suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan sanggahan mengenai diri pribadi debitur misalnya dalam hal belum cukup umur.”

Perjanjian penanggungan tidak ada tanpa perjanjian pokok yang sah yang mau ditanggung, Walaupun demikian, dimungkinkan pihak ketiga mengajukan diri sebagai penanggung atas suatu perikatan/perjanjian yang secara hukum dapat dibatalkan karena adanya suatu tangkisan yang dapat diajukan oleh debitur pribadi, misalnya dalam hal kebelumdewasaan debitur yang ditanggung tersebut.

Pasal 1822

“Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri dalam perjanjian atau dengan syarat-syarat yang lebih berat dari perikatan yang dibuat oleh debitur.
Penanggungan dapat diadakan hanya untuk sebagian utang atau dengan mengurangi syarat-syarat yang semestinya. Bila penanggungan diadakan atas jumlah yang melebihi utang atau dengan syarat-syarat yang lebih berat maka perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan sah, tetapi hanya untuk apa yang telah ditentukan dalam perikatan pokok.”

Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri atau dengan syarat yang lebih berat daripada perikatan debitur. Jika hal ini dilakukan maka perjanjian tidak batal melainkan tetap sah dengan mengikut pada perjanjian pokoknya. Namun demikian penanggungan dilakukan untuk sebagian utang debitur atau dengan syarat yang lebih ringan.

Pasal 1823

“Orang dapat mengangkat diri sebagai penanggung tanpa diminta oleh orang yang mengikatkan diri untuk suatu utang, bahkan juga dapat tanpa tahu orang itu.
Orang dapat pula menjadi penanggung, bukan hanya untuk debitur utama melainkan juga untuk seorang penanggung debitur utama itu.”

Seseorang dapat mengajukan diri sebagai penanggung walaupun tidak diminta oleh kreditur bahkan tidak diketahui oleh kreditur. Di samping itu seseorang dimungkinkan juga untuk menanggung bukan hanya terhadap debitur tetapi juga terhadap penanggung debitur tersebut. Dengan demikian jika debitur tidak ditanggung oleh seseorang dan penanggungnya pun tidak dapat membayar maka penanggung inilah yang membayarnya.

Pasal 1824

“Penanggung tidak hanya dapat diduga-duga, melainkan harus dinyatakan secara tegas, penanggungan itu tidak dapat diperluas hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat-syarat sewaktu mengadakannya.”

Penanggung utang ini tidak dapat dipersangkakan tetapi harus dinyatakan dengan tegas. Demikian pula penanggungan ini tidak dapat diperluas melebihi ketentuan yang disyaratkan pada waktu perjanjian penanggungan itu dibuat.

Pasal 1825

“Penanggungan yang tak terbatas untuk suatu perikatan pokok, meliputi segala akibat utangnya, bahkan juga biaya-biaya gugatan yang diajukan terhadap debitur utama dan segala biaya yang dikeluarkan setelah penanggung utang diperingatkan tentang itu.”

Apabila perjanjian penanggungan tidak dibatasi pada hanya perjanjian pokok maka perjanjian itu meliputi segala akibat utang tersebut bahkan biaya gugatan terhadap debitur termasuk segala biaya yang diperlukan sejak penanggung diperingatkan tentang kelalaian debitur.

Pasal 1826

“Perikatan-perikatan penanggung beralih kepada para ahli warisnya.”

Perikatan para penanggung yang meninggal dunia berpindah kepada ahli warisnya tentu saja jika penanggungan itu tidak terikat dengan keahlian penanggung.

Pasal 1827

“Debitur yang diwajibkan menyediakan seorang penanggung, harus mengajukan seseorang yang cakap untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, maupun untuk memenuhi perjanjiannya dan bertempat tinggal di Indonesia.”

Debitur yang diwajibkan memberikan seorang penanggung harus mengajukan penanggung yang memenuhi syarat berikut: cakap menurut hukum untuk mengikatkan diri; mampu untuk memenuhi perikatannya; berdiam di wilayah Indonesia.

Pasal 1828 – dihapus

Pasal 1829

“Bila penanggung yang telah diterima kreditur secara sukarela atau berdasarkan keputusan Hakim kemudian ternyata menjadi tidak mampu, maka haruslah diangkat penanggung baru. Ketentuan ini dapat dikecualikan bila penanggung itu diadakan menurut persetujuan, dengan mana kreditur meminta diadakan penanggung.”

Apabila penanggung diterima secara sukarela oleh kreditur atau karena berdasarkan putusan hakim kemudian menjadi tidak mampu maka debitur harus menunjuk seorang penanggung yang baru.

Pasal 1830

“Barangsiapa diwajibkan oleh undang-undang atau keputusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti untuk memberikan seorang penanggung, boleh memberikan jaminan gadai atau hipotek bila ia tidak berhasil mendapatkan penanggung itu.”

Apabila berdasarkan undang-undang atau berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, diwajibkan mengajukan seorang penanggung namun ia tidak berhasil mendapatkan penanggung maka sebagai gantinya dimungkinkan untuk menggantinya dengan jaminan kebendaan berupa gadai atau hipotek (sekarang hak tanggungan untuk tanah).


sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 2 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PERDAMAIAN

Perdamaian merupakan perjanjian formal yang harus dibuat secara tertulis. Apabila tidak dibuat secara tertulis maka perjanjian perdamaian tidak sah. Perjanjian perdamaian bertujuan untuk mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung (bergantung) atau mencegah timbulnya sengketa di bidang hukum keperdataan. Apabila timbul masalah keperdataan yang bersumber dari kejahatan atau pelanggaran maka dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian sedangkan masalah pidana tetap berlanjut proses penyelesaiannya.

Perdamaian mempunyai kekuatan hukum dengan adanya putusan hakim yang memperoleh kekuatan tetap dan tidak dapat dibatalkan dengan alasan khilaf mengenai hukumannya atau merugikan salah satu pihak. Namun dapat dimintakan pembatalan jika khilaf mengenai orang, pokok sengketa, atau terjadi paksaan atau penipuan.

Perdamaian lebih diutamakan daripada pemeriksan sengketa di pengadilan yang putusan akhirnya memenangkan salah satu pihak. Begitu pentingnya perdamaian ini, di awal proses persidangan di pengadilan negeri diharuskan upaya mendamaikan para pihak, bahkan dilakukan mediasi sebelum pemeriksaan. Bukan hanya di pengadilan tetapi dalam proses dari arbitrase pun sebelum dilanjutkan pemeriksaan diupayakan perdamaian antara para pihak.

Pasal 1851

“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.”

Sekarang perdamaian mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pasal 1852

“Untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu.
Para wali dan pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari Bab XV dan XVII Buku Kesatu Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.
Kepala-kepala daerah yang bertindak demikian, begitu pula lembaga-lembaga umum, tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaannya.”

Pihak yang berhak melakukan perdamaian adalah pihak yang berhak mengalihkan barang yang diperdamaiakan tersebut, bahkan wali dan pengampu pun dibatasi berdasarkan ketentuan dari Bab ke-XV dan ke-XVII dari Buku Kesatu BW. Demikian pula dengan kepala daerah atau lembaga umum harus mengindahkan acara-acara yang telah ditentuan berlaku baginya

Pasal 1853

“Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari satu kejahatan atau pelanggaran.
Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak menghalangi pihak Kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan.”

Kepentingan keperdataan yang terkait dengan masalah pidana pun dapat didamaikan. Akan tetapi, perdamaian itu tidak menggugurkan perkara pidananya.

Pasal 1854

“Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang termaktub di dalamnya; pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sepanjang hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.”

Lingkup berlakunya perdamaian terbatas pada apa yang tercantum dalam perjanjian perdamaian dan terkait dengan hak-hak dan tuntutan yang terkait mendasari perjanjian.

Pasal 1855

“Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub di dalamnya, entah para pihak merumuskan maksud mereka secara khusus atau umum, entah maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak dari apa yang tertulis itu.”

Perdamaian ini berlaku terbatas untuk mengakhiri perselisihan baik yang dituangkan dalam rumusan umum maupun rumusan khusus, termasuk yang dapat disimpulkan sebagai akibat salah satunya dari apa yang dituliskan.

Pasal 1856

“Bila seseorang mengadakan suatu perdamaian mengenai suatu hak yang diperolehnya atas usahanya sendiri dan kemudian memperoleh hak yang sama dari orang lain maka hak yang baru ini tidak mempunyai ikatan dengan perdamaian itu.”

Perdamaian berlaku terhadap hak sendiri yang ada pada saat perdamaian dan tidak berlaku pada hak yang diperoleh.

Pasal 1857

“Suatu perdamaian yang diadakan oleh salah seorang yang berkepentingan, tidak mengikat orang-orang lain yang berkepentingan, dan tidak pula dapat diajukan oleh mereka untuk memperoleh hak-hak daripadanya.”

Seseorang dapat melakukan perdamaian untuk kepentingannya sendiri dan tidak mengikat pihak berkepentingan lainnya serta tidak dapat diajukan oleh orang yang memperoleh hak darinya.

Pasal 1858

“Di antara pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.”

Suatu perdamaian mempunyai kekuatan sama dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diingkari dengan alasan terjadi kekhilafan mengenai hukumnya atau karena merasa dirugikan dengan perdamaian tersebut.

Pasal 1859

“Namun perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan. Perdamaian dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan penipuan atau paksaan.”

Walaupun demikian, perdamaian dapat dibatalkan (dimintakan pembatalan) apabila terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan objek perdamaian dan dapat dibatalkan jika didasarkan pada penipuan atau paksaan.

Pasal 1860

“Begitu pula pembatalan suatu perdamaian dapat diminta, jika perdamaian itu diadakan karena kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.”

Suatu perdamaian dapat juga dibatalkan jika terjadi kesalahpahaman tentang duduk perkaranya serta alas hak yang batal. Namun demikian alasan pembatalan karena alas hak yang batal tidak dapat dilakukan jika para pihak secara tegas telah melakukan perdamaian tentang kebatalan itu.

Pasal 1861

“Suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, batal sama sekali.”

Perdamaian yang didasarkan pada surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu mengakibatkan sama batal atau batal demi hukum.

Pasal 1862

“Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan Hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu, adalah batal.
Jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.”

Perdamaian terhadap suatu sengketa yang telah memperoleh keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap namun tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, maka perdamaiannya batal. Jika putusan tersebut masih dapat dimintakan ke banding (belum memperoleh kekuatan hukum tetap) maka perdamaiannya tetap sah.

Pasal 1863

“Jika kedua pihak telah membuat perdamaian tentang segala sesuatu yang berlaku di antara mereka, maka adanya surat-surat yang pada waktu itu tidak diketahui tetapi kemudian ditemukan, tidak dapat menjadi alasan untuk membatalkan perdamaian itu, kecuali bila surat-surat itu telah sengaja disembunyikan oleh salah satu pihak.
Akan tetapi perdamaian adalah batal bila perdamaian itu hanya mengenai satu urusan sedangkan dari surat-surat yang ditemukan kemudian ternyata bahwa salah satu pihak sama sekali tidak berhak atas hal itu.”

Jika para pihak telah melakukan perdamaian yang bersifat umum kemudian ada surat yang belum ditemukan pada waktu perdamaian tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perdamaian, kecuali jika surat tersebut dengan sengaja disembunyikan oleh salah satu pihak, maka perdamaiannya dapat dibatalkan karena hal ini dapat dianggap ada itikad tidak baik dari pihak yang menyembunyikan surat tersebut. Di samping itu, perdamaian menjadi batal jika dilakukan para pihak mengenai suatu urusan saja sedangkan surat-surat yang ditemukan kemudian menunjukkan bahwa salah satu pihak sama sekali tidak mempunyai hak atas apa yang diperdamaiakan.

Pasal 1864

“Dalam suatu perdamaian, suatu kekeliruan dalam hal menghitung harus diperbaiki.”

Jika dalam perdamaian terjadi kekeliruan dalam menghitung maka harus diperbaiki terutama mengenai kekeliruan perhitungan yang nyata. Misalnya: setelah dilakukan perdamaian tentang persentase yang diperoleh masing-masing pihak namun terjadi kekeliruan dalam menghitung persentase tersebut setelah dikalikan dengan objek perdamaian.

.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 1 Maret 2023 inci Buku III

 

Tag: ,

PINJAM MEMINJAM (Bag 1 dari 4)

Perjanjian pinjam meminjam disebut perjanjian pinjam mengganti adalah perjanjian yang objeknya barang yang habis karena pemakaian sehingga barang yang dipinjam akan digunakan atau dihabiskan oleh pihak peminjam dan menggantinya dengan barang lain yang sejenis dan sama nilainya pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian.

Perjanjian pinjam meminjam mengakibatkan barang yang dipinjam menjadi milik peminjam sehingga resiko atas barang yang dipinjam ada pada pihak peminjam. Hal ini salah satu yang membedakan dengan pinjam pakai karena pada perjanjian pinjam pakai, hak milik tidak beralih kepada peminjam sehingga resikopun masih tetap pada pihak yang meminjamkan.

Perjanjian pinjam meminjam yang banyak dilakukan adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang terkadang tidak ditentukan kapan dilakukan pembayaran. Akan tetapi kalau pinjamannya berupa uang dalam jumlah yang banyak maka pada umumnya ditentukan jangka waktu pembayaran, bahkan diperjanjikan bunga sehingga apa yang harus dibayarkan oleh peminjam lebih besar daripada jumlah uang yang dipinjam.

Bagian Kesatu

Ketentuan Umum

Pasal 1754

“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”

Perjanjian pinjam meminjam biasa disebut perjanjian pinjam mengganti adalah dimana satu pihak memberikan kepada orang lain barang yang habis karena pemakaian dan pihak penerima akan mengembalikan dalam jumlah, macam, dan keadaan yang sama. Dikatakan juga pinjam meminjam ini barang yang dipinjam pada saat dikembalikan bukan lagi barang yang dipinjam tetapi barang sejenis dengan syarat, jumlah, macam, dan keadaannya harus sama dengan yang dipinjam.

Penggantian dengan barang lain pada saat dikembalikannya barang yang dipinjam karena memang untuk dipakai oleh peminjam. Jika barang tersebut dipakai maka akan habis karena sifat barang tersebut adalah barang yang habis karena pemakaian, misalnya: beras, minyak goreng, uang dan lain-lain.

Pasal 1755

“Berdasarkan perjanjian tersebut, orang yang menerima pinjaman menjadi pemilik mutlak barang pinjaman itu, dan bila barang ini musnah, dengan cara bagaimanapun maka kerugian itu menjadi tanggungan peminjam.”

Karena perjanjian pinjam meminjam barang yang dipinjam untuk dipakai (dihabiskan) oleh peminjam dan pada saat dikembalikan adalah barang lain, maka setelah barang diserahkan kepada peminjam, secara otomatis sudah menjadi milik peminjam, yang berarti segala kerugian atau resiko yang terjadi atas barang tersebut menjadi tanggung jawab peminjam.

Sebagai contoh: Ali meminjam uang kepada Jusni sebanyak Rp1.000.000,00 dan uang itu diserahkan di ruang ATM oleh Jusni kepada Ali. Ini berarti setelah penyerahan tersebut, Ali menjadi pemilik uang itu sehingga kalau uang itu dirampok atau tercecer maka Ali tetap berkewajiban membayar utang tersebut kepada Jusni.

Pasal 1756

“Utang yang timbul karena peminjaman uang, hanya terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum utang dilunasi nilai mata uang naik atau turun, atau terjadi perubahan dalam peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah dipinjam, dihitung menurut nilai resmi pada waktu pelunasan itu.”

Jika terjadi perjanjian pinjam meminjam uang maka utang peminjam terbatas pada jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jadi tidak ada bunga yang terjadi secara otomatis jika perjanjian itu dilakukan sebagaimana mestinya, dalam arti tidak ada wanprestasi dari peminjam.

Dalam perjanjian pinjam-meminjam uang dapat saja terjadi bahwa selama perjanjian berlangsung atau sebelum dibayarnya pinjaman/utang tersebut, terjadi perubahan nilai uang, baik berupa kenaikan ataupun penurunan. Demikian pula perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pembayaran utang dengan mata uang yang berlaku pada waktu pembayaran dengan menyesuaikan nilainya antara jumlah nilai mata uang yang dipinjam dengan jumlah nilai mata uang yang dibayarkan.

Pasal 1757

“Ketentuan pasal di atas tidak berlaku jika kedua belah pihak menyepakati dengan tegas bahwa uang pinjaman harus dikembalikan dengan uang logam dan jenis dalam jumlah yang sama seperti semula. Dalam hal demikian pihak yang menerima pinjaman harus mengembalikan uang logam dan jenis dan dalam jumlah yang sama,tidak lebih dan tidak kurang. Jika uang logam sejenis sudah tidak cukup lagi dalam peredaran, maka kekurangannya harus diganti dengan uang dan logam yang sama dan sedapat mungkin mendekati kadar logam uang pinjaman itu, sehingga semuanya mengandung logam asli yang beratnya sama dengan yang terdapat dalam uang logam pinjaman semula.”

Pembayaran dengan penyesuaian mata uang dan nilainya tidak berlaku jika para pihak dalam perjanjian pinjam meminjam tersebut, secara tegas menyatakan bahwa pinjaman akan dikembalikan dalam jumlah mata uang yang sama, pada saat pembayaran pihak peminjam/debitur wajib mengembalikan jumlah dan mata uang yang sama. Hal ini berarti apabila telah diperjanjikan secara tegas pembayaran dengan mata uang dan jumlah yang sama maka pembayaran tidak terpengaruh perubahan mata uang dan nilainya.

Apabila uang logam sudah tidak ada atau tidak mencukupi maka diganti dengan mata uang yang berlaku dengan jumlah yang setara dengan uang yang dipinjam. Para sarjana menyimpulkan pasal ini mengatur uang logam yang sekarang sudah tidak dikenal lagi karena yang berlaku adalah uang kertas.

Pasal 1758

“Jika yang dipinjamkan itu berupa barang-barang emas atau perak, atau barang-barang lain, maka peminjam harus mengembalikan logam yang sama beratnya dan mutunya dengan yang ia terima dahulu itu, tanpa kewajiban memberikan lebih walaupun harga logam itu sudah naik atau turun.”

Apabila objek perjanjian pinjam meminjam adalah emas atau perak atau barang perdagangan lainnya maka peminjam harus mengembalikan jumlah dan kualitas yang sama dan tidak ada kewajiban bagi peminjam untuk melebihkan pembayaran.

sumber: Prof Dr Ahmad Miru, SH., MH – Hukum Perjanjian

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 28 Februari 2023 inci Buku III

 

Tag: ,