RSS

Arsip Kategori: Omnibus Law Cipta Kerja

Omnibus Law Cipta Kerja – Pengungkapan Ketidakbenaran Pasal 8 ayat (3) KUP

Wajib Pajak pada saat membeli barang dagangan tidak pernah menyerahkan NPWP sehingga Faktur Pajak yang diterbitkan Suplier mencantumkan NPWP 00.000.000-0.000.000. Otoritas perpajakan kemudian melakukan penelitian atas Faktur Pajak dengan NPWP 00.000.000-0.000.000 sebagai bentuk pengawasan Wajib Pajak. Berdasarkan penelitian atas Faktur Pajak dengan NPWP 00.000.000-0.000.000, diketahui Wajib Pajak melakukan pembelian selama satu tahun sebesar Rp18.000.000.000,00. Otoritas kemudian membandingkan data pembelian hasil penelitian dengan SPT Tahunan yang dilaporkan Wajib Pajak. Wajib Pajak ternyata hanya melaporkan omset (peredaran usaha) pada tahun tersebut sebesar Rp4.000.000.000,00. Dikarenakan omset masih dibawah batas Pengusaha Kecil, yaitu sebesar Rp4.800.000.000,00, Wajib Pajak tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Berdasarkan data pembelian sebesar Rp18.000.000.000,00 namun Wajib Pajak hanya melaporkan omset sebesar Rp4.000.000.000,00 dan tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, otoritas perpajakan kemudian menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk membuktikan apakah Wajib Pajak melakukan Tindak Pidana Perpajakan atau tidak. Dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak adalah Pasal 39 ayat (1) UU KUP yaitu:

pertama, huruf a yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
kedua, huruf d yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Wajib Pajak diminta untuk meminjamkan semua dokumen dan catatan keuangan pada awal pemeriksaan namun ternyata Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan. Penyidik PNS Direktorat Jenderal Pajak, selanjutnya disebut Penyidik, kemudian mengajukan permohonan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk membuka seluruh rekening Wajib Pajak. Berdasarkan rekening Wajib Pajak, diketahui arus uang masuk (sisi kredit) sebesar Rp22.000.000.000,00 yang kemudian dianggap sebagai Peredaran Usaha Wajib Pajak. Selain itu diketahui, arus uang keluar (sisi debit) sebesar Rp19.000.000.000,00 yang kemudian dianggap sebagai pembelian Wajib Pajak. Asumsi yang dilakukan Penyidik diperbolehkan karena Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan.

Penyidik kemudian menghitung PPN terhutang Wajib Pajak sebesar Rp2.200.000.000,00. Wajib Pajak menginformasikan kepada Penyidik akan menggunakan fasilitas Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) KUP. Fasilitas ini merupakan salah satu cara supaya ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya. Konsekuensi dari tindakan ini adalah Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Besarnya sanksi administrasi berupa denda untuk Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.300.000.000,00.

Pemerintah kemudian mengundangkan Omnibus Law Cipta Kerja, dimana dalam Pasal 112 mengatur: “Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.” Berdasarkan peraturan tersebut, PPN terutang Wajib Pajak menjadi sebesar Rp440.000.000,00. Selain itu dalam Pasal 113 mengatur: “Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.” Berdasarkan ketentuan tersebut, besarnya sanksi administrasi berupa denda untuk Wajib Pajak adalah sebesar Rp440.000.000,00.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29 Desember 2020 inci Omnibus Law Cipta Kerja