Artikel lain mengenai Persekutuan Komanditer dapat dibaca di sini
Persekutuan Komanditer (commandiraire vennootschap atau CV) diatur dalam Pasal 19 KUHD, adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau oleh beberapa orang yang mempercayakan uang dan atau barang kepada seseorang atau beberapa orang yang menjalankan pengurusan yang dikenal sebagai sekutu aktif (sekutu komplementer) dan orang yang mempercayakan uang (pemberi modal) tersebut disebut sekutu komanditer.
Di Indonesia, CV sebagai salah satu bentuk perkumpulan selain memiliki unsur-unsur atau karakteristik umum suatu perkumpulan, tetapi memiliki karekateristik yang bersifat khusus, yaitu sebagai berikut :
- Adanya inbreng (pemasukan) dari setiap sekutu;
- Keuntungan dari kerjasama harus dibagi diantara sekutu;
- Merupakan suatu perusahaan;
- Menggunakan nama bersama;
- Bentuk tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan;
- Memiliki sekutu komanditer dengan tanggung jawab terbatas.
CV dapat didirikan dengan syarat dan prosedur yang lebih mudah daripada Perseroan Terbatas (PT) , yaitu hanya mensyaratkan pendirian oleh 2 orang, dengan menggunakan akta notaris yang berbahasa Indonesia. Pada waktu pendirian CV, yang harus dipersiapkan sebelum datang ke Notaris adalah adanya persiapan mengenai:
- nama yang akan digunakan oleh CV tersebut
- tempat kedudukan dari CV
- siapa yang akan bertindak selaku Persero aktif, dan siapa yang akan bertindak selaku persero diam.
- Maksud dan tujuan yang spesifik dari CV tersebut (walaupun tentu saja dapat mencantumkan maksud dan tujuan yang seluas-luasnya).
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa tujuan mendirikan CV adalah untuk secara bersama-sama mencari keuntungan atau laba dan membagi keuntungan tersebut dengan menyerahkan inbreng (pemasukan) dari tiap-tiap sekutu baik berbentuk uang, barang, atau tenaga dan kerajinannya. Mengingat pembatasan yang diatur dalam pasal 20 KUHD, maka untuk sekutu komanditer bentuk inbrengnya hanya dapat berbentuk uang atau barang. Dengan demikian, tidak mungkin membuat perjanjian persekutuan yang membolehkan atau memungkinkan salah seorang sekutu tidak memasukkan sesuatu ke dalam CV. Hal inilah yang seringkali disimpangi, salah satu contoh dengan praktik “meminjam” nama untuk memenuhi syarat pendirian CV. Pihak yang ditawarkan untuk dipinjam namanya sebagai sekutu komanditer tidak perlu mengeluarkan modal, hanya namanya saja yang akan dicantumkan dalam akta pendirian CV.
Setiap sekutu berutang kepada CV apa yang telah ia sanggupi untuk diserahkan sebagai inbreng ke dalam CV. Jika inbreng yang disanggupinya berupa barang, maka sekutu tersebut mempunyai kewajiban untuk menjamin bahwa barang yang dijadikannya inbreng tersebut tidak cacat dan tidak akan dituntut oleh pihak lain, suatu kewajiban yang dibebankan seperti kewajiban seorang penjual. Jika sekutu hendak memasukkan inbreng dalam bentuk uang, maka ia diharuskan menyerahkan ke dalam kas CV dengan ketentuan akan dikenakan bunga apabila ia tidak menyerahkan uang tersebut segera setelah CV terbentuk. Dalam CV, tidak seperti PT, sekutu dapat menyerahkan tenaga atau kerajinannya sebagai bentuk inbreng yang bersangkutan dalam CV. Tenaga dan kerajinan dapat berupa pekerjaan dengan tangan maupun dengan pikiran. Apabila ia lalai dalam kewajibannya tersebut, ia harus mengganti kerugian yang diderita persekutuan akibat kelalaiannya tersebut, bahkan hal-hal tertentu hal tersebut dianggap wanprestasi, sehingga dapat menyebabkan berakhirnya suatu CV. Dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya. Pada saat sepakat mendirikan CV, notaris biasanya menyarankan alangkah baiknya untuk dipertimbangkan dari segala segi, tidak hanya dari segi kepraktisannya namun juga dari segi pembagian resiko di antara para persero, agar tidak terjadi pertentangan di kemudian hari.
Berdasarkan Pasal 19 KUHD, dalam CV terdapat dua jenis sekutu, dengan menggunakan istilah Pasal 19 KUHD, yaitu sekutu bertanggung jawab dan sekutu pelepas uang. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat disimpulkan ada dua macam sekutu yakni sekutu aktif atau komplementer dan sekutu pasif atau komanditer yang memiliki perbedaan tanggung jawabannya yaitu sebagai berikut :
- Sekutu aktif atau pengurusan atau komplementer bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi. Sekutu aktif berhak memasukkan modal, namun tugas pokoknya adalah melakukan pengurusan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab hingga harta pribadinya secara keseluruhan terhadap utang dan kerugian perusahaan.
- Sekutu pasif atau komanditer berkewajiban menyerahkan uang atau barang sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya yang kemudian mendapatkan keuntungan dari persekutuan tersebut berdasarkan besaran modal yang telah disetorkannya. Tanggung jawab persekutuan komanditer terbatas hanya sampai dengan jumlah modal yang telah disanggupi untuk disetorkannya.
Berdasarkan pengaturan diatas, secara eksplisit menyatakan bahwa sekutu komanditer tidak dapat turut serta dalam pengelolaan perusahaan. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa sekutu komanditer hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkan atau akan disetorkan ke dalam CV, dengan syarat sekutu komanditer tersebut tidak ikut serta dalam pengurusan CV dan keberadaannya tidak diketahui oleh pihak ketiga. Padahal ia adalah juga pemilik perusahaan yang punya kepentingan ekonomi, yaitu menerima bagian keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana sekutu komanditer dapat memantau agar modal yang dimasukkannya ke dalam perusahaan dan menjadi kekayaan perusahaan memang dikelola secara sungguh-sungguh untuk kepentingan perusahaan. Apakah sekutu komanditer hanya berpatokan kepada rasa percaya (trust) terhadap sekutu pengurus tanpa adanya mekanisme kontrol sebagaimana yang dikenal dalam PT ? Jika tidak terdapat mekanisme kontrol sehingga sekutu pengurus dapat memutuskan segala sesuatunya sendiri, bukankah ini membuka peluang penyalahgunaan kewenangan oleh sekutu pengurus? Jika demikian halnya, bagaimana perlindungan hukum bagi kepentingan sekutu komanditer yang juga adalah pemilik perusahaan.
Dalam praktiknya, sekutu komanditer senantiasa ingin terlibat di dalam pengelolaan perusahaan karena menggangap bahwa sekutu komanditer di dalam perusahaan memiliki peran yang sama dengan seorang pemegang saham di dalam suatu Perseroan Terbatas. Pemahaman ini tentunya perlu dijelaskan dan diatur dengan lebih jelas agar tidak membingungkan. Pembagian sekutu menjadi sekutu pengurus (beherend vennoot) dan sekutu komanditer (commanditaire vennoot) tentu saja memiliki konsekuensi yang berbeda pula dalam hal kewajiban dan tanggung jawab terhadap perusahaan. Terdapatnya dua jenis sekutu tersebut, lebih kepada status bukan karena peran (role), artinya secara hukum posisi mereka memang berbeda. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban seorang sekutu ditentukan oleh fungsi dari statusnya apakah sebagai beherend atau commanditaire, dan bukan karena peran (role) yang dilakukannya seperti besarnya pengendalian yang dimiliki seseorang dalam suatu perusahaan.
Status sekutu sebagai sekutu pengurus harus dinyatakan dalam perjanjian persekutuan dan disebutkan dalam akte pendirian CV, sebab jika tidak maka semua sekutu akan dianggap sekutu yang berhak melakukan pengurusan dan mewakili persekutuan dengan pihak ketiga. Pada saat akte pendirian CV telah didaftarkan, masuknya sekutu pengurus lainnya dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam perjanjian persekutuan atau jika perjanjian persekutuan tidak mengaturnya, berdasarkan persetujuan semua sekutu, baik beherend maupun commanditaire.
Bahwa para sekutu memiliki kewajiban baik kepada sekutu lainnya maupun kepada persekutuan, yaitu kewajiban sekutu komanditer untuk memasukkan uang atau barang dan kewajiban sekutu pengurus untuk memasukkan uang atau barang atau keahlian/tenaga dan mengurus persekutuan dengan baik sebagaimana kewajiban yang dibebankan kepada direksi PT, merupakan hal yang sudah semestinya. Namun, bagaimana dan seberapa jauh kewajiban tersebut diterapkan masih menimbulkan persoalan karena memang tidak ada aturan mengenai hal tersebut.